Kemenangan Pemerintah Presiden Jokowi (PJ) melakukan politik akomodasi terhadap parpol-parpol oposisi telah merontokkan koalisi yang bernama Koalisi Merah Putih atau KMP. KMP yg semual terdir atas beberapa parpol besar (Golkar dan Gerindra) dan menengah (PPP, PKS, dan PAN) kini secara de facto mungkin sudah berubah menjadi "Koalisi Mendukung Prabowo (Subianto)" saja. Sebab kini praktis hanya Gerindra dan PKS saja yang masih tersisa, itupun oleh partai berlambang kepala Garuda itu sudah dinyatakan bubar (http://nasional.sindonews.com/read/1083069/12/ada-apa-dengan-pks-gerindra-1454660731). Jika PKS juga berhasil dirangkul oleh PJ tentu makin jelas bahwa koalisi oposisi yang semula sangat garang dan tampil menjanjikan itu telah "sirna hilang kertaning bhumi" alias "wassalam". Inilah koalisi yg parpol yg paling pendek usianya pada era pasca-reformasi, yakni satu setengah tahunan.
PJ memainkan politik akomodasi parpol oposisi dengan cerdas. Kendati tetap dengan slogan "koalisi tanpa syarat", tetapi PJ tampaknya juga siap utk memberikan posisi-posisi strategis kepada parpol-parpol yang semula berasal dari KMP. PPP sudah lebih dulu mendapat 'jatah' di Kabinet, dan sangat mungkin PAN dan Golkar juga demikian apabila reshuffle Kabinet Kerja (KK) benar terjadi. Strategi akomodatif PJ memang penting dilakukan utk melakukan pengendalian terhadap Parlemen yang rentan dengan keramaian yg berasal dari polarisasi parpol. PJ masih belum aman jika hanya bersandar pada KIH, apalagi jika melihat para politisi PDIP belum semuanya solid (walaupun kahir-akhir ini cenderung makin 'tertib' juga).
Lain lagi dengan KMP yg kini tinggal sejarah. Gerindra yg dianggap menjadi motor koalisi oposisi itu, nyatanya masih sangat memerlukan topangan Golkar sebagai parpol terbesar dan paling berpengalaman dalam politik. Sayangnya, pengalaman partai Orba itu tidak termasuk pengalaman sebagai oposisi, tetapi pengalaman sebagai parpol punakawan. Sedangkan PKS yg diharapkan akan menjadi mitra progresif, kini sedang melakukan konsolidasi internal sehingga nyaris tidak efektif. Bahkan di bawah kepemimpinan Presiden PKS yg baru, Muhammad Sohibul Iman (MSI), kedekatan partai Islam ini dengan PJ juga mulai terlihat.
Walhasil, Gerindra mau tak mau mesti bebenah secara serius dan membangun sebuah arsitektur oposisi baru yang efektif. Kendati Waketum Gerindra, Fadli Zon (FZ), cukup pede dengan posisi "home alone" ini, tetapi saya kira tanpa ada sebuah pembenahan ulang yg fundamental, hal itu hanya merupakan sebuah retorika saja.(http://news.detik.com/berita/3212341/gerindra-sendirian-di-kmp-fadli-zon-rakyat-mendukung-kami). Gerindra tak cukup hanya membangun Koalisi Mendukung Prabowo (KMP Baru) sendirian saja, dan mengandalkan nama besar sang Jenderal dalam menghadapi Pemilu 2019. Sebab jika Gerindra tak bisa memobilisais dukungan dari rakyat melalui kiprah nyata dalam masyarakat, maka nama besar seoran Prabowo tentu masih belum mencukupi.
Waktu 3 tahun ke depan bukanlah waktu yang panjang utk persiapan menghadapi Pileg dan Pilpres. Dan masyarakat masih menunggu kiprah partai ini di luar berbagai retorika politik para elitnya.
0 comments:
Post a Comment