Bagaimana sebuah negara yang punya Konstitusi, aturan hukum, dan semua kelengkapan yg diperlukan agar ia tetap terjaga keberadaannya, tetapi tetap mengalami kemerosotan dan bahkan kehancuran? Jawabnya sederhana dan tidak mbulet: yaitu ketika para penyelenggara negara tsb tidak mau dan tidak peduli utk melaksanakan tugas dengan baik. Jika penyelenggara negara menerjemahkan dan melaksanakan Konstitusi dan aturan yang ada semau gue, maka sebesar apapun negara dan sekuat apapun modalnya, maka akan tetap mengalami kemerosotan dan ujungnya adalah kehancuran.
Coba kita lihat bagaimana seorang pejabat tinggi negara, Ketua Badan pemeriksa Keuangan (BPK), yang seenaknya saja menerjemahkan aturan hukum dan landasan etika bernegera, hanya utk menutupi dan membela dirinya dari desakan agar mundur karena telah dianggap minimum melanggar etika tsb. Harry Azhar Azis (HA), mengatakan bahwa karena Presiden Jokowi (PJ) mengatakan bahwa dirinya tidak meruhikan keuangan negara, maka perbuatannya tidak melaporkan asetnya di perusahaan P&B Services Limited (PBSL) yg dimilikinya di luar negeri, dianggapnya sebagai hal yang tak bermasalah. Padahal jelas sekali dalam aturan main, semua pejabat negara wajib melaporkan harta kekayaan dan asetnya.
HA, sebagaimana dilaporkan media, masih menjabat sebagai Ketua Banggar DPR- RI, sekaligus seorang politisi Golkar ketika ia memiliki aset tsb. Kemudian, pada 28 Oktober 2014, HA dilantik menjadi ketua BPK. Dalam laporan harta kekayaannya ke KPK, aset perusahaan ini tidak ikut dicantumkan. Tak pelak, muncul kecurigaan thd PBSL (yg ternyata ada dlm laporan Panama Papers) karena kemungkinan digunakan sebagai wahana menghindari pajak. Pelanggaran hukum dan/atau etika sudah jelas terjadi, karena: 1) HA tidak melaporkan aset secara jujur; dan 2) Adanya kecurigaan bahwa pendirian perusahaan PBSL sebagai wahana penghindaran pajak.
Jika demikian, upaya berlindung dibalik ucapan PJ sangat tidak relevan. Bahkan saya malah meragukan validitas statemen AH seakan-akan PJ menganggap apa yang dilakukan HA tidak apa-apa, karena tidak merugikan negara! Ini mesti diklarifikasi agar nama baik PJ tidak disalahgunakan. Lebih penting lagi, posisi PJ saya kira bukan sebagai pihak yg bisa memutuskan apakah ada pelanggaran etika dan/ atau hukum dari HA. Yg bisa memutuskan adalah Dewan Kehormatan BPK (kalau ada), dan/ atau proses di Pengadilan.
Jika cara meminjam nnama Presiden seperti yg dilakukan HA dianggap valid dan praktik yang sah dalam ketatanegaraan, niscaya penyelenggaraan ketatanegaraan di negeri ini akan hancur lebur. Sebab implikasinya jelas: Tidak perlu ada akuntabilitas publik, tidak perlu ada proses hukum, dan tidak perlu ada pengawasan. Padahal justru karena posisi HA adalah Ketua BPK, ia mestinya harus lebih terjaga kredibilitasnya dan lebih ketat pengawasannya. Kalau seorang Ketua BPK sengaja tidak melaporkan aset miliknya dlm LHKPN, apakah ia masih punya otoritas moral utk menduduki jabatan yg sangat strategis dan utama itu? Kalau seorang Ketua BPK punya perusahaan yg mencurigakan di luar neeri, apakah itu pantas? Saya dengan tegas menjawab bhw kedua-2nya TIDAK!
HA harus mengundurkan diri dari jabatannya, setidaknya utk sementara sambil dia diperiksa apakah ada pelanggaran hukum maupun etik yg dilakukannya sebagai pejbat tinggi negara. Hanya dengan cara ini maka kredibilitas BPK sebagai lembaga dapat dipertahankan, dan akuntabilitas publik HA sebagai pejabat dipertanggungjawabkan.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment