Kasus kematian Siyono (Sy), terduga pentolan teoris asal Klaten, tampaknya masih menuai kontroversi pasca dilakukannya otopsi forensik atas jenasahnya. Hasil lengkap dari otopsi yg dilakukan oleh tim dokter Muhammadiyah pada Minggu 1 April 2016 itu, sampai hari ini (Rabu 6 April 2016 belum muncul. Namun demikian berbagai informasi yang telah disampaikan baik oleh pihak Polri maupun pihak Muhammadiyah seputar kasus kematian Sy tsb telah ada di berita media, dan hemat saya, belum terdapat kejelasan yang dapat membantu meredam kontroversi tsb.
Pihak Polri tampaknya masih bersikukuh dengan posisi awalnya terkait Sy, yakni bahwa kematiannya bukan merupakan sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh anggota Densus 88. Pihak Polri sendiri pernah mengindikasikan adanya kesalahan prosedural. Menurut Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Anton Charliyan (AC), "...(k)ita juga mempertanyakan ke anggota, kenapa cuma sendiri, karena yang bersangkutan kooperatif. Mata ditutup, diborgol. Mungkin bujuk rayunya minta buka penutup mata dan borgol, tapi ini kesalahan prosedur. Minimal 2 orang mengawal." (http://nasional.kompas.com/read/2016/04/05/19245861/Polisi.Sebut.Ada.Kelompok.Pro.Teroris.yang.Membela.Siyono?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd).
Pihak Muhammadiyah memiliki pandangan berbeda. Hasil sementara otopsi menunjukkan bahwa ditemukan "... bekas-bekas kekerasan tumpul intravital (saat masih hidup) dan beberapa tempat patah tulang. Tidak ada luka tembak,” kata ketua tim forensik Muhammadiyah, dr Gatot Suharto. (https://m.tempo.co/read/news/2016/04/04/063759460/autopsi-siyono-tak-ada-luka-tembak-ada-patah-tulang). Pihak Muhammadiyah juga menganggap statemen Polri tidak benar bahwa keluarga Sy menolak otopsi dan bahwa Polri sendiri pernah melakukan otopsi thd jenazah SY. Menurut Ketum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar (DA), Polisi "... telah berbohong dalam memberikan informasi tentang kematian terduga teroris, Siyono."
Sayangnya kontroversi ini bukannya dicarikan penyelesaian yg tuntas dan mengedepankan keterbukaan. Pihak Polri malah melontarkan statemen yang bernuansa tudingan adanya kelompok pro teroris. AC misalnya menyebut " (a)da golongan tertentu yang pro teroris. Dia (Siyono) teroris, pegang senjata, dan ada yang membela..." Alih-alih Polri memperjelas permasalahan seputar kematian Sy dengan pembuktian dan argumentasi yang kuat, kini malah diperkeruh dengan model komunikasi yang bermuatan spekulatif dan dapat ditafsirkan menjadi semacam tudingan dan stigmatisasi.
Tak dapat diragukan bahwa jika kontroversi ini makin berlarut, maka nama baik Polri, khususnya Densus 88, sendiri yg akan dipertaruhkan. Hemat saya, kasus ini perlu didudukkan pada persoalan apakah terjadi kesalahan prosedural dan jika ada apa yang harus dilakukan oleh Polri. Tidak perlu masalah ini diperluas sehingga menciptakan kesan adanya keraguan thd lembaga penegak hukum dan Densus yang prestasinya telah diakui dan didukung publik dalam kaitan dg pemberantasan terorisme di negeri ini. Jika cara penanganan masalah, termasuk komunikasi publik oleh Polri tidak fokus, maka akibatnya malah memperluas ruang kontroversi. Padahal kita semua tahu bahwa penguatan aparat penegak hukum dalam penanganan ancaman terorisme harus diperkuat.
Upaya pihak Muhammadiyah dan organisasi masyarakat sipil utk melakukan klarifikasi masalah, sejatinya bukanlah utk memojokkan Polri atau Densus 88, tetapi meminta akuntabilitas publik dari lembaga penagk hukum tsb. Hal ini sangat penting sebab kepercayaan publik akan merosot jika akuntabilitas lembaga negara merosot. Polri dan Muhammadiyah serta organisasi masyarakat sipil Indonesia perlu saling menopang. Jangan sampai malah kelompok anti NKRI dan teroris yg bertepuk tangan karena meluasnya kontroversi tsb.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment