Wacana "deparpolisasi" dalam Pilkada DKI 2017 yg dilontarkan oleh elite PDIP ternyata malah menjadi bumerang yg menyerang balik dirinya sendiri, sehingga mesti diredam melalui klarifikasi oleh pejabat parpol tsb. Menurut Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta Gembong Warsono (GW), misalnya istilah tsb hanyalah merupakan wacana yg digunakan internal partainya ketika menghadapi fenomena cagub independen atau perseorangan yaitu petahana Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Asal muasalnya, boss partai berlambang Banteng gemuk tsb, Megawati Sukarnoputri (MS), pesan wanti-wanti kepada para kader agar partai harus diperkuat sehingga tidak akan terjadi deparpolisasi. Posisi parpol dalam demokrasi, menurut MS, adalah sangat penting karena ia adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. (http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/11/15344591/Klarifikasi.PDI-P.soal.Penyebutan.Deparpolisasi.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp).
Saya kira, apa yang dikemukakan oleh MS intinya benar. Tak diragukan lagi bahwa di manapun sistem demokrasi ditegakkan, maka parpol menjadi salah satu pilar utamanya. Tanpa ada parpol maka sistem tsb menjadi mustahil bisa bekerja dengan efektif. Dan MS benar bhw upaya melemahkan fungsi dan peran partai politik bisa dinamakan deparpolisasi. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keberadaan calon-2 perseorangan dlm Pilkada itu bisa dikategorikan sebagai sebuah upaya pelemahan parpol atau deparpolisasi? Atau apakah pemakaian istilah 'deparpolisasi' dlm konteks Pilkada DKI itu hanyalah sebuah kampanye hitam melalui suatu rekayasa distortif dan manipulatif yang ditujukan kepada lwan, dalam hal ini Gub Ahok?
Istilah 'deparpolisasi' yg digunakan MS jika diletakkan pada konteks demokratisasi terjadi dlm sebuah sistem politik otoriter yg membuat parpol tidak berfungsi dan berperan sebagaimana semestinya, tetapi hanya sebuah asesori politik. Ini terjadi pada masa rezim Orla dan Orba ketika parpol-2 mereka sama sekali tdk berfungsi dan berperan secara efektif karena berada dalam kontrol penguasa otoriter dan oligarki militer, birokrasi, dan korporasi. Itulah 'deparpolisasi' yg sebenarnya. Pada era Orba, politik massa mengambang adalah salah satu mekanisme utk memperlemah pengaruh parpol, sehingga ia juga bagian dari upaya deparpolisasi.
Sementara itu, pencalonan melalui jalan perseorangan (independen) di luar parpol secara hukum dan politik dijamin keabsahannya pada era Reformasi. Hal sama terjadi pada masa Demokrasi Liberal, saat Pemilu pertama digelar pd 1955, para peserta perseorangan dijamin oleh UU. Dengan demikian, istilah 'deparpolisasi" dlm tidak benar dan tidak tepat utk digunakan utk menuding pencalonan Ahok dan calon-2 lain dalam Pilkada. Dan jika kemudian politisi-2 PDIP menggelar wacana deparpolisasi dlm rangka membendung laju Gub Ahok dlm Pilkada DKI, hal itu adlh distorsi dan manipulasi makna. Hemat saya, para politisi PDIP itu malah salah paham dg arahan MS. Sebab arahan Presiden RI ke 5 tsb sejatinya merupakan peringatan dan dorongan agar PDIP memperkuat eksistensi, fungsi, dan peran partainya yg kini dirasakan mengalami kemerosotan!
Itu sebabnya wacana deparpolisasi di DKI kini mendapat perlawanan keras dari publik, pengamat, cendekiawan, dan bahkan dari beberapa pentolan parpol di luar PDIP. Politisi PDIP seperti Muhammad Yamin (MY) dan Prasetio Edi Marsudi (PEM) yg mengelar wacana deparpolisasi tsb malah ikut berkontribusi dalam menggerus kepercayaan publik thd partainya, serta memperlemah popularitas partainya dlm Pilkada DKI. Wacana 'deparpolisasi' yg dijadikan senjata PDIP utk melawan kekuatan Ahok kini berbalik menjadi 'senjata makan tuan'. Upaya klarifikasi oleh GW akan sia-2 saja jika para politisi PDIP lainnya seperti MY dan PEM tidak menggubrisnya.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment