Seandainya kita punya mesin waktu dan bisa balik ke zaman ketika negeri ini masih dalam sistem kerajaan dan para raja menjadi penguasanya, niscaya fenomena gerhana matahari total (GMT) yang terjadi akan dikaitkan dengan situasi dan kondisi politik yang ada. Apalagi jika kebetulan kerajaan dan sang raja sedang menghadapi krisis politik, misalnya para sentana dalem, punggawa, dan/ atau abdi dalemnya saling cekcok, saling tuding menuding, dan ribut saling mengejek di muka umum; pendek kata: GADUH!.
Maka fenomena GMT akan menjadi sangat penting dalam kosmologi politik saat itu dan para cerdik pandai, para spiritualis, bahkan para kawula alit pun akan berusaha memahami dan mencoba menebak-nebak, pertanda apa itu? Biasanya kalau kemudian kegaduhan berubah menjadi krisis politik yang serius, maka GMT itu akan ditafsirkan sebagai sebuah pertanda, peringatan (warning) yang dikirimkan oleh alam atau kekuatan supernatural bahwa ada yang salah dalam kerajaan tersebut, termasuk mungkin sang raja sendiri serta pejabatnya. Dan semua kawula pun lantas siap-siap dengan caranya sendiri-sendiri utk mengantisipasi jika krisis benar-2 menjadi kekacauan terbuka yang merusak tatanan kerajaan dan kehidupan mereka.
Di zaman pasca-modern sekarang ini, fenomena GMT dan kaitannya dengan tatanan politik sudah berubah total. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil dengan gagahnya memisahkan manusia dengan fenomena alam itu. GMT lantas tidak lagi punya makna kosmologi politik, tetapi hanya sebagai fenomena alam biasa, walaupun menarik utk dikaji, diprediksi, dan diketahui dampaknya bagi bumi, dan/ atau dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi sperti obyek wisata, dll. Tentu masih ada juga di antara manusia modern yang mencoba memberi makna spiritual, seperti berdoa atau beribadah khusus menyambut GMT. Namun tetap saja, fenomen GMT sudah 'terpisah' dan ter 'transendentasi' serta ter-'obyektifikasi' oleh manusia pasca-modern. GMT dan manusia adalah dua entitas yg berhadapan. Mereka tak lagi saling menyapa.
Namun sejatinya fenomena GMT masih punya makna dan fungsi, yaitu menjadi semacam metafor, perlambang yang kadang nongol dalam wacana politik. Melalu metafora itu GMT bisa dirangkul sedikit dan disublimasikan dalam kiprah manusia, termasuk politik. Karena manusia adalah mahluk perlambang, maka fenomena alam seperti itu pun "diselamatkan" agar tak lenyap dalam proses obyektifikasi. Setidaknya ia menjadi bermakna dalam wacana politik, kalaupun bukan lagi sebagai kosmologi politik. Maka GMT pun bisa menjadi 'medan tempur' perebutan kuasa melalui metafor itu. Misalnya, singkatan GMT bisa diplesetkan menjadi "GEGER MENTERI TUDING-MENUDING." GMT juga jadi metafora fenomena pertarungan kuasa di pusat atau Istana, yakni ketika matahari tertutup oleh bayangan benda langit lain (rembulan atau planet lain). Maka "matahari kembar" menjadi metafor penyebab kegaduhan yg sekarang sedang ngetren di antara para pembantu Presiden Jokowi. Bukan saja para pembantu "biasa" (para Menteri) tetapi juga termasuk pembantu "istimewa" yg dipilih sesuai konstitusi, yaitu Wapres.
Jika pada zaman kerajaan dahulu baik para sentana dalem maupun para kawula segera bersiap-siap ketika isyarat langit itu muncul, maka bagaimana yg terjadi ketika metafor itu kini muncul dalam wacana politik? Saya tidak tahu persisnya. Tetapi saya kok yakin bahwa sebagian elit negeri ini pun juga siap-2 menghadapi segala kemungkinan. Demikian juga para kawula di bawah yang kini sudah sangat mudah mengikuti perkembangan melalui media sosial dll. Walhasil, GMT di zaman kuno dan GMT di zaman Pak Joko Widodo, masih terus dimaknai kendati dengan cara berbeda.
Selamat menyaksikan GMT (yg di langit) maupun GMT (yang di Jakarta).
0 comments:
Post a Comment