Dalam
hukum perdata, khususnya perjanjian jual beli, dikenal istilah 'caveat
emptor' yang berarti bahwa si pembeli tahu kualitas barang dan si
penjual tidak bisa dipersalahkan jika si pembeli tdk puas atau atau ada
kekurangan. Dengan asas ini maka jika terjadi perselisihan, tidak semua
kesalahan dibebankan kepada si penjual kecuali hal-hal yg sudah
disebutkan dalam kontrak. Si pembeli empunyai kewajiban agar 'teliti
sebelum membeli' sehingga tidak terjadi fenomena 'membeli kucing dalam
karung'. Sebab 'sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian pengeluaran..
eh.. tidak berguna.'!
Saya kira dalil 'caveat emptor' juga
berlaku dalam politik, khususnya ketika terjadi 'transasksi' seperti
pilih memilih, termasuk memilih pimpinan partai seperti yg akan
dilakukan Partai Golkar (PG) dalam Munas yad. Para pemilih calon Ketum
DPP PG tentu harus hati-2 dan punya informasi cukup mengenai siapa
calon-2 yg akan maju sehingga nanti tidak kecewa ketika sudah terpilih
Ketuanya, ternyata tidak punya kapasitas sebagai pemimpin dan malah
bikin partai tsb menurun kualitasnya. PG adlh aset bangsa sebagai
kekuatan politik yg besar dan bermanfaat dalam membangun NKRI. Jangan
sampai setelah terjadi ontran-2 yg melemahkan dirinya, nanti dlm Munas
menghasilkan Ketum DPP yg tidak bermutu.
Maka pihak pendukung
calon yg akan maju dlm Munas pun wajib memberikan informasi yang
relevan, terbuka, dan bisa dipertanggungjawabkan mengenai calon mereka.
Kasus munculnya surat perjanjian antara Ade Komarudin (Akom) dengan DPP
PG di bawah Aburizal Bakrie (ARB) yg seolah-olah ingin disembunyikan
para pendukungnya, merupakan pelanggaran thd prinsip 'caveat emptor'
tsb. Akom, menurut kabar, pernah membuat perjanjian yg isinya antara
lain tidak akan nyalon dlm Munas jika dirinya diangkat menjadi Ketua DPR
menggantikan Setya Novanto (SN) yg mundur gara-gara skandal Papa Minta
Saham (PMS). Padahal kini Akom sudah gencar kemana-mana mengajukan diri
sebagai calon Ketum PG. Pertanyaannya adalah, apakah calon pemimpin
seperti ini akan meemegang kendali partai yg pernah berkuasa selama 32
th itu?
Tentu persoalan ini masih akan bergulir dan bebuntut
panjang. Pendukung Akom mungkin akan mengatakan bhw keberadaan surat tsb
tdk merupakan sebuah pelanggaran denga berbagai dalih. Dan lawan-2 Akom
nanti juga akan menggunakan surat tsb sebagai alat kontra kampanye
mereka. Terlepas dari apa nanti hasilnya, kita bisa belajar dari kasusu
ini. Yakni dalam masyarakat yg kian terbuka, akan makin banyak hal-2 yg
semula ditutup2i oleh para politisi yang kemudian terungkap di ruang
publik. Ini bermanfaat agar publik makin tahu akan kualitas para
pemimpinnya sehingga makin terjaga dari kemungkinan "membeli kucing
dalam karung". Parpol juga akan semakin dituntut tanggungjawab utk
menyeleksi calon-2 pimpinan mereka karena publik akan toh lambat atau
cepat akan tahu kualitas mereka.
Golkar perlu belajar dari kasus
Gubernur DKI Ahok yg menunjukkan betapa pentingnya transparansi
menghadapi publik yg makin kritis. Caveat Emptor tidak hanya berlaku
dalam hukum (perdfata), tapi juga politik.
Simak tautan ini:
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/12/10153701/Surat.Perjanjian.Ade.Komarudin.Tak.Maju.Ketum.Golkar.Beredar
Saturday, March 12, 2016
Home »
» "CAVEAT EMPTOR" DAN PENCALONAN AKOM DI MUNAS GOLKAR
0 comments:
Post a Comment