Satu lagi bukti bahwa Parpol dan para politisi sontoloyo (poliyo) sedang berusaha menghancurkan sistem politik demokrasi yang dilahirkan oleh garakan reformasi lebih dari15 tahun lalu. DPR hasil Pemilu 2014, bukan saja makin menambah daftar panjang kinerja yang memalukan dan mencederai kepercayaan pemilihnya, tetapi juga semakin rajin menciptakan rekayasa politik yang berimplikasi pada kian lemahnya sendi-2 demokrasi. Rencana mereka untuk menaikkan syarat calon independen dalam Pilkada, adalah contoh paling mutakhir, di samping berbagai rekayasa seperti pelemahan KPK yg berdampak pada pelemahan upaya pemberantasa korupsi, dll.
Mengapa para poliyo menginginkan ada peningkatan syarat calon independen? Kalau dilihat hanya dari argumen para poliyo itu, maka rada masuk akal, yaitu ingin menyamakan syarat yg diberikan kepada calon yang diusung oleh parpol. Mereka merasa bahwa selama ini syarat calon independen kurang adil, apalagi setelah MK mencabut Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, dan memutuskan bhw yang dijadikan dasar adalah bukan jumlah penduduk tetapi jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT). Para poliyo pun ingin agar syarat bahwa calon independen tinggi, yaitu harus didukung 10-15 persen atau bahkan kalau perlu 15-20 persen dari DPT.
Alasan formal di atas tentu saja tidak terlepas dari fenomena politik yg sedang berkembang; yakni kekhawatiran parpol dan para poliyo bahwa mereka akan semakin disaingi dan terkalahkan oleh calon-2 independen yang memiliki popularitas dan leketabilitas tinggi seperti Gub Ahok, si petahana dari DKI itu. Padahal jika para politisi itu mau introspeksi, fenomena Ahok tsb semestinya merupakan sebuah kritik positif agar parpol makin memacu kinerja dan meningkatkan kepercayaan publik (public trust) thd mereka. Sebab rakyat Indonesia sejatinya masih punya keinginan agar parpol jadi sumber rekrutmen tokoh-2 pemimpin daerah yang berkualitas. Bahkan menurut sebuah jajak pendapat, calon independen masih belum banyak diminati (hanya 16%) oleh responden yg ditanya. Jadi, hemat saya, fenomena Ahok masih belum bisa dijadikan tolok ukur utama bahwa parpol mengalami kemerosotan kepercayaan dalm soal calon. Dan tidak usah ditakutkan oleh parpol dan politisi asal mereka mau berkompetisi secara fair!
Namun jika reaksi parpol dan politisi di DPR adalah seperti yg dilakukan oleh para poliyo itu, di samping menuding ada deparpolisasi, juga kini berencana menaikkan syarat dukungan calon independen, maka fenomena Ahok bisa jadi akan malah marak di masa datang. Sebab publik akan menilai para politisi dan parpol tsb memang tidak mau melakukan introspeksi dan memerbaiki diri, tetapi malah cenderung 'menyalahkan' dan mengintimidasi pihak lain. Rakyat yang kian terbuka dan dapat melihat sendiri kualitas calon-2 yg ditawarkan, tentu akan memilih meninggalkan calon parpol. Sementara itu pihak-2 yang ingin menyalonkan diri pun akan memilih jalur perseorangan jika tarif mahar parpol sangat tinggi dan kualitas mesin partai tidak cukup baik.
Ketakutan parpol dan para poliyo thd calon independen dan respon yg ngirit nalar atas ketakutan tsb menunjukkan bhw parpol semakin jauh dari amanat reformasi dan praktik demokrasi. Lalu, apa yg bisa diharapkan dari mereka?
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment