Hanya berumur setahun lebih sedikit, ibarat sebuah kapal, Koalisi Merah Putih (KMP) kini sedang nyaris karam, setelah ditinggal oleh para awak kapalnya: Golkar, PPP, dan PAN. Para awak kapal tersebut ternyata tak cukup punya nyali dan ketahanan untuk berada di dalam kapal tersebut, dan memilih untuk mencari selamat serta bergabung dg 'kapal" lain: Pemerintah Presiden Jokowi (PJ). Selain ketiga awak kapal tsb, masih ada PKS dan Gerindra. Partai yg disebut paling belakang itu juga berperan sebagai nahkoda kapal KMP. Bersama Gerindra, PKS tidak ikut cari selamat dengan bergabung ke kapal lain. Namun keduanya belum juga cukup solid utk membuat sang kapal mengarungi samudera politik Indonesia. Walhasil, ada kemungkian bahwa kapal KMP itu akan dibiarkan tenggelam.
Toh sang nahkoda, Prabowo Subianto (PS), tampil tegar. Begitu juga tokoh PKS, seperti Hidayat Nur Wahid (HNW) yang mencoba menepis tudingan bahwa kapalnya sedang tenggelam. PS menyebutkan bahwa Gerindra tidak sakit hati, kalaupun tinggal sendirian menahkodai kapal kosong tsb., sementara HNW menepis kabar akan bubarnya KPM dengan alasan yg terkesan memelas: "karena belum ada pernyataan resmi." Padahal yang namanya pembelotan politik, tentu tidak akan ada pernyataan resmi. Tetapi orang tak perlu menjadi ahli roket utk tahu bahwa Golkar, PPP, dan PAN telah pindah kapal karena para boss mereka sudah mengumumkan dukungan kepada Pemerintah. (http://nasional.kompas.com/read/2016/02/05/11125351/Hidayat.Nur.Wahid.Kami.Tegaskan.KMP.Belum.Bubar.).
Secara teoretis normatif, tenggelamnya kapal KMP merupakan sebuah 'kecelakaan' cukup serius bagi proses penegmbangan dan pemberdayaan sistem politik demokrasi konstitusional di Indonesia pasca-reformasi. Sebab tanpa ada kekuatan oposisi, maka prinsip 'checks and balances', yang merupakan salah satu syarat penting dari sistem demokrasi konstitusional, akan terabaikan dan bahkan terancam bisa lenyap. Sebab, sistem demokrasi konstitusional tegak di atas prinsip pembatasan kekuasaan, termasuk kekuasaan Pemerintahan. Jika tidak ada lagi partai-partai yang mengontrol, mengawasi, dan memberikan alternatif pemikiran kepada penguasa, maka akan terjadi proses pelemahann dan pemunduran, sehingga kata "demokrasi" hanya akan menjadi semacam olok-olok atau, meminjam istilah alm. Gus Dur, "demokrasi seolah-olah" belaka.
Namun harus segera dikatakan bahwa dalam kenyataan sistem politik demokrasi yg berkembang di Indonesia, yang namanya kekuatan oposisi memang tidak pernah serius dipikirkan dan dilaksanakan. Malah yg sering kita baca dan dengar dari para elite parpol adalah penafian dan penolakan kategoris thd oposisi. Mereka sering menyatakan bahwa "di Indonesia tidak dikenal oposisi." Pernyataan seperti ini, hemat saya, selain merupakan sebuah hipokrisi politiik, juga sebenarnya hanya menunjukkan betapa ekonomisnya nalar para elit politik tersebut. Keberadaan oposisi, dalam sistem demokrasi modern, secara filosofis dan normatif sama dibutuhkannya dengan penguasa. Dg kata lain, justru kehadiran parpol oposisi seharusnya didukung dan kalau perlu dipupuk agar supaya terjadi keseimbangan dan menghindari terjadinya diktator mayoritas.
Perpolitikan Indonesia pasca-reformasi menunjukkan fenomena aneh dan anomali: parpol-2 yang berada dalam posisi oposisi tampaknya merasa "terpaksa" atau muncul karena alasan pribadi dari para petingginya. Akibatnya, kinerja mereka sebagai pihak oposisi juga seringkali hanya asal-asalan dan cuma "waton suloyo" alias asal beda dengan penguasa. Nyaris tidak muncul pemikiran-2 alternatif dan kinerja-2 politik yang memiliki pandangan jauh dan mendalam mengenai kenegaraan. Maka tidak aneh jika baik parpol penguasa dan yang oposisi menampilkan kelakuan politik (political behaviors) yang tak jauh bedanya. Misalnya, yg paling mencolok selama hampir dua dasawarsa terakhir, parpol penguasa dan oposisi tidak melahirkan politisi dan negarawan-2 handal yang mampu melahirkan visi besar yang bertujuan merubah negeri ini menjadi lebih berdaulat, mandiri, dan bermartabat dalam percaturan antar-bangsa.
Sementara itu, yang namanya koalisi pendukung penguasa pun, ternyata tak lebih dari kartelisasi parpol. Dan yang namanya kartel, bukanlah sebuah koalisi partai yang sebenarnya karena dalam sebuah kartel, kepentingan masing-2 anggota masih mengemuka dan tidak ada satu ikatan yang kokoh dalam bentuk visi maupun program-program strategis bersama. Implikasinya, kendati koalisi itu bejibun dengan parpol-2, tidak ada jaminan bahwa kartel tsb akan solid ketika terjadi krisis. Masih segar dlm ingatan publik bagaimana "koalisi" bernama Setgab dalam Pemerintahan Presiden SBY yang tidak pernah solid dan anggota-2 nya malah ada yang melakukan perlawanan.
Walhasil, tenggelamnya kapal KMP dan makin besarnya awak kapal PJ sejatinya tidak berpengaruh besar pada dinamika perpolitikan RI pasca-reformasi. Kalau pun ada, maka hal itu hanya memindah rame-2 dan kegaduhan yg semua dari dua kapal, nantinya akan ada di satu kapal saja!. Maka saya pun bisa memahami jika PS tidak merasa kehilangan benar dengan hengkangnya para awak kapal dari KMP. Bisa jadi Gerindra malah akan menangguk simpati dari rakyat Indonesia jika, dalam kesendiriannya, ia malah konsisten menyuarakan kritik-2 yang tajam dan berkualitas kepada penguasa!
Simak tautan ini:
http://politik.rmol.co/read/2016/02/06/234916/Prabowo-Subianto-Hormati-Langkah-Berpaling-Anggota-KMP-
0 comments:
Post a Comment