Ada ungkapan yang mengatakan "hindsight is 20:20", maksudnya kalau melihat kembali kejadian masa lalu maka pandangan seseorang akan sempurna. Sayangnya, kesempurnaan itu mungkin hanya semacam fatamorgana, karena biasanya pandangan atas kejadian masa lalu itu akan banyak diwarnai oleh bias subyektifitas dan juga penghilangan berbagai faktor penting secara sengaja. Kegemaran menggunakan hindsight semacam ini biasanya dimiliki oleh mereka yang mengidap sindroma pasca-berkuasa (post-power syndrome), yang memiliki egosentrisme yang sangat besar, yang memiliki arogansi tinggi, dan/ atau yang memang ekonomis dalam kejujuran.
Saya khawatir pandangan Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM) mengenai kemampuan beliau mengalahkan alm Gus Dur dan Megawati Sukarnoputri (MS) pada sidang MPR 1999 itu juga tak lebih hanya sebuah strategi 'by hindsight' yang tak pernah bisa dibuktikan, ibarat mimpi indah utk menghibur diri. Fakta membuktikan bahwa sejak 1999, klaim YIM bisa menjadi orang nomor 1 atau 2 di negeri ini belum berhasil dibuktikan. Hitung-2an YIM bhw beliau punya dukungan lebih banyak, di sidang MPR, ketimbang alm GD pd sidang MPR 1999, hemat saya, hanya klaim subyektif atau bahkan semacam harapan kosong (wishful thinking) belaka. Setidaknya sampai saat ini belum ada studi yang bisa dijadikan landasan utk mendukung klaim pribadi dari YIM tsb.
Barangkali, yang bisa dianalisa adalah fakta bahwa saat itu YIM mundur sebagai calon Presiden dlm sidang MPR tsb, sehingga akhirnya alm GD berhadapan dg MS dan hasilnya GD yg terpilih sebagai Presiden ke 4. Mungkin para sejarawan dan ilmuwan politik bisa meneliti fakta pengunduran diri YIM tsb dan apa implikasinya. Sah-sah saja kalau YIM mengklaim bahwa pengunduran dirinya adalah demi mencegah perpecahan dan dalam rangka menjaga persatuan, tetapi hal itu tetap bisa diragukan oleh siapapun. Sebab masih banyak variabel yang bisa dipakai utk menjelaskan fakta tersebut, selain klaim subyektif itu.
Fakta yang lain adalah bahwa YIM sampai saat ini belum pernah berhasil maju sebagai cawapres atau capres yg bertanding sampai putaran pertama dalam Pilpres. Ini bisa menjadi pertanyaan menarik, kenapa demikian? Apalagi jika dipertimbangkan bahwa YIM pernah menjadi Menteri sampai 3 kali, masing-2 pada era alm GD, MS, dan SBY. Kalau mengikuti klaim sebelumnya, tentu semestinya YIM sudah memiliki lebih banyak lagi "modal" menjadi capres atau minimum cawapres yg bertanding sampai final. Anehnya justru beliau kini siap-2 bertanding dalam Pilkada DKI pada 2017 melawan petahana Gub Ahok! Orang bisa mempertanyakan, bukankah ini merupakan sebuah kemunduran dan penurunan kapasitas?
Menggunakan 'hindsight' sebagai alat kampanye tentu merupakan hak YIM. Namun strategi macam ini, menurut saya, malah akan kontra produktif dan mengundang respon negatif dari publik thd pribadi beliau. Ia bukannya akan menangguk simpati dan dukungan, tetapi malah membuka peluang bagi munculnya perdebatan dan kontroversi terkait kapasitas beliau sendiri. Terus terang saya tidak tahu apakah pemakaian strategi kampanye ini sudah dipikirkan secara serius oleh YIM dan tim suksesnya, ataukah hanya semacam reaksi "desperate" dan spontan karena kesulitan mencari alternatif?.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment