Saya semakin meyakini bahwa upaya melakukan revisi UU KPK lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya, serta lebih dimotivasi oleh kepentingan jangka pendek parpol (khususnya PDIP) ketimbang kepentingan jangka panjang rakyat dan NKRI. Jika Pemerintah Presiden Jokowi (PJ) mendukung dan menyeponsori perubahan atau amandemen atau revisi UU KPK tsb, maka saya kira beliau tidak sedang berpihak kepada sejarah. Ini sangat disayangkan, sebab munculnya PJ sebagai pemimpin bangsa Indonesia, menurut hemat saya sampai saat ini, adalah merupakan kehendak sejarah yang menuntut terjadinya sebuah perubahan-perubahan besar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam perspektif filsafat sejarah Hegelian, perubahan-perubahan sejarah akan terjadi dalam rangka mencapai sebuah tujuan akhir (telos) universal, khususnya munculnya sebuah Negara yang mampu menjadi pengayom rakyatnya dan menjadi entitas yang mengatasi kepentingan-2 partikularistik, termasuk kepentingan jangka pendek kelompok seperti partai politik, elite penguasa, dan kelas-kelas sosial. Negara, dalam filsafat sejarah Hegel, merupakan entitas paling utama yang menjadi wahana bagi manusia dalam melakukan realisasi pontensialitasnya. Dan karenanya, Negara mesti terbebas dari kepentingan-kepentingan atau menjadi alat dari pengelompokan dan individu-individu penguasanya.
Jika dikontekstualisaikan dalam realitas Indonesia saat ini, yg sedang meretas jalan menuju sebuah negara-bangsa yang demokratis, maka Pemerintah semestinya membuat kebijakan-2 publik yang benar-benar menopang kepentingan besar dari bangsa dan negara, dan saat ini masalah pemberantasn korupsi adalah salah satunya. Dengan kata lain, memberi peluang bagi upaya pelemahan KPK melalui apa yang disebut dg revisi UU KPK No. 30 Th 2002, berarti tidak berpihak pada proses sejarah dlm perspektif Hegel. Sebab jika dikaji secara seksama dan komprehensif sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak dari kalnagan masyarakat sipil Indonesia, substansi revisi UU KPK dapat dikatakan sebagai proses pelemahan dan sama sekali bukan penguatan thd lembaga antirasuah tsb dan upaya besar pemberantasan korupsi.
Pandangan mantan pimpinan KPK, Busyro Muqoddas (BM), yang saya tautkan di bawah ini, hanyalah salah satu dari sekian banyak kritik yg telah disampaikan thd materi revisi UU KPK. Secara politik, saya juga melihat bahwa motif utama dr revisi tsb adalah kepentingan parpol, khususnya PDIP, utk menghentika gerak maju gerakan pemberantasan korupsi karena hal itu akan merugikan kepentingan jangka pendeknya sebagai partai yang berkuasa. Sikap plin-plan PDIP terhadap soal revisi UU ini juga telah menjadi sorotan publik yang sangat negatif (http://politik.rmol.co/read/2016/02/03/234538/Ngotot-Revisi-UU-KPK,-PDIP-Tidak-Konsisten!-).
Jika PDIP ngotot dengan bertahan pada posisi melawan sejarah ini, tentu sangat ironis. Sebab Proklamator RI, Bung Karno, selalu memberikan peringatan agar "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah" (JASMERAH), sebuah statemen yang, hemat saya, sangat kuat warna filsafat Hegelian nya. Saya kira belum terlambat bagi PJ utk menengok kembali materi revsi UU tsb agar benar-benar mencerminkan penguatan, bukan pelemahan KPK. Atau kalau memang tidak perlu, ya sudah tdk perlu dilakukan.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment