Tidak perlu menjadi ahli roket utk tahu bahwa posisi Menteri BUMN, Rini Soemarno (RS), hanya menunggu waktu saja utk digantikan alias direshuffle oleh Presiden Jokowi (PJ). Pidato mantan Presiden Megawati Sukarnoputri (MS) yang juga Ketum DPP-PDIP, sudah terang benderang menohok kinerja sang menteri yang dikenal sebagai profesional dan pernah sangat akrab dengan beliau sendiri. Rasanya adalah sebuah "hil nan mustahal" jika PJ berani mempertahankan sang menteri dalam posisinya yg sekarang. Kompromi harus dilakukan dan ketimbang ribet dan rame-rame terus ya sudah dituruti saja....
Walaupun ada perbedaan, tetapi nasib RS rasa-2nya seperti yang dialami menteri perempuan era Presiden SBY, Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang juga dikenal sebagai profesional yang handal, berkualitas internasional, dan tidak bisa didikte oleh kepentingan parpol. RS dan SMI sama-sama tidak memilik dukungan parpol atau garis massa yang kuat. Keduanya merupakan bagian dari sebuah keharusan pengorbanan politik (political expediency): "habis manis, sepah dibuang."
Lantas bagaimana dengan argumen bawa RS gagal menjadikan BUMN sebagai "penyokong ekonomi nasional yang menjadi alat negara untuk meningkatkan kemakmuran rakyat" karena dia dianggap menjadikan korporasi-2 milik negara itu dikelola seperti perusahaan-2 swasta biasa dg pendekatan 'business to business'? Sekilas, alasan itu kedengaran valid dan 'patriotik', tetapi orang sering melupakan bahwa BUMN menjadi seperti itu bukan hanya di bawah RS saja, tetapi sudah lama. Bahkan pada masa Orba, BUMN malah menjadi semacam sapi perahan parpol-parpol dan sama sekali tidak memiliki kapasitas yg cukup signifikan utk bisa mengerek ekonomi negara dan memakmurkan rakyat Indonesia. Pertamina, BUMN yang diagul-2kan pemerintah, pun kedapatan menjadi salah satu korporasi yang banyak dikorupsi dan menjadi cash-cow elite penguasa. Pasca-reformasi pun BUMN-BUMN umumnya tidak menunjukkan perbaikan yg signifikan bahkan kecenderungan mereka terus merugi dan perlu disusui terus oleh negara!.
Ini beda dengan BUMN di Singapura seperti Temasek, yang memiliki kekayaan nyaris US $ 200 miliar itu. Beda pula dengan BUMN-BUMN milik Tiongkok yang mampu menangguk laba besar dan jadi andalan negara utk berkiprah dalam ekonomi global. Padahal mereka juga milik negara dan dikontrol Pemerintah. Mengapa bisa demikian? Tentu hal ini bukan hanya karena faktor seorang Menteri saja tetapi sangat terkait dengan manajemen tatanegara, politik, dan ekonomi nasional. Ini tidak berarti Menteri BUMN tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, justru siapapun Menterinya perlu memiliki akuntabilitas yang tinggi kepada pemerintah dan rakyat. Namun menuding hanya RS saja sebagi pihak yang salah, hemat saya, sangatlah naif dan lebay! Sebagai warganegara, saya cuma mengingatkan, rezim siapa yang paling getol melakukan penjualan aset-2 BUMN pasca-krisis moneter di awal 2000an?.
Karena itu desakan agar RS diganti oleh PJ saya rasa hanya sedikit saja terkait dg maju tidaknya BUMN. Dan saya juga tidak yakin penggantinya nanti akan bisa merubah total BUMN seperti yang kini diomongkan oleh para politisi itu. Desakan pemecatan RS adalah karena dia sudah tidak berkenan di hati para elite di DPP PDIP dan politisi partai tsb di Senayan. RS menjadi semacam 'klilip' di mata para elite yang kemudian mengapropriasi wacana nasionalisme vs neoliberalisme utk menggusurnya. Nanti kalau RS sudah diganti pun, saya tidak yakin PLN tidak byar-pet lagi, atau BBM tidak akan naik lagi, atau beras tidak akan impor lagi, dan kelangkaan energi akan pulih.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment