Pepatah populer mengatakan, "tidak ada asap jika tidak ada api". Mungkin pepatah itu perlu ditambah, "walaupun api itu di dalam sekam". Ontran-ontran terkait dengan Freeport tampaknya masih bakal panjang. Kasus Freeport-gate, yang melibatkan Setya Novanto (SN), ternyata kini merembet Wapres JK gara-gara keluarganya dianggap melakukan lobby dengan boss Freeport McMoran, Jim Bob (Moffet) (JB), yang kini sudah mundur dari jabatan Presiden perusahaan tambang raksasa AS itu.
Memang belum jelas benar apakah pertemuan antara keluarga JK, yakni iparnya Aksa Mahmud (AM) dan Erwin Aksa (EA) dengan JB itu termasuk sebagai sebuah tindakan pelanggaran etik atau hukum. Juga belum jelas apakah informasi bahwa keduanya akan mendapat saham 40% utk pembangunan smelter di Papua itu sahih adanya. Yg sudah jelas baru bantahan JK atas tudingan-tudingan tsb. JK malah balik mengatakan bahwa upaya menyudutkan keluarganya adlh sebagai bentuk penghalangan thd pengusaha nasional utk bisa berkompetisi di dunia internasional. JK mengatakan ".. apa salahnya, pengusaha nasional, pribumi kerja di daerah cari proyek yang bagus, apa salahnya? Saya tanya dulu ke kalian. Masa kasih jepang lagi, China lagi, kalaupun ada, apa salahnya?.." (http://nasional.rimanews.com/politik/read/20151228/252826/Disindir-Pengpeng-JK-Ngamuk-Sebut-Rizal-Ramli-Gila).
Tak pelak lagi, kegaduhan marak lagi di lingkaran elit Istana yang implikasinya tentu tidak akan positif bagi stabilitas politik, karena sinergi dan kinerja Pemerintah akan terganggu. Kini mendekati pergantian tahun, di mana isu akan terjadinya reshuffle kabinet sedang deras mengalir, tentu saja kisruh JK vs Rizal Ramli (RR) ini akan menjadi bagian penting di dalam tawar-menawar tsb. JK bisa saja membantah dan marah-marah, tetapi ibarat nasi sudah menjadi bubur, tembakan-tembakan dari lawan sudah kian gencar ke arahnya.
Moral dari kegaduhan ini jelas, bahwa kekuasaan politik dan kepentingan bisnis memang mesti dipisahkan secara tegas. Jika masih berada dalam wilayah abu-abu, maka suatu saat akan menjadi pangkal perseteruan. Kegaduhan-kegaduhan yang berasal dari kolusi antara kekuasaan politik dan kepentingan bisnis bukan saja akan menciptakan gangguan terhadap kinerja mengurusi pemerintahan dan negara, tetapi juga bisa membawa kepada ancaman stabilitas politik nasional. Belajar dari rezim Orba, salah satu sebab kejatuhannya tak lain adalah karena kolusi antar politik dan bisnis di tingkat elit yang tak terkontrol.
Apakah Pemerintahan PJ akan mengulangi kesalahan yang sama. Kita tentu berharap tidak, tetapi sulit utk mengingkari bahwa yang terlihat saat ini adalah kian menguatnya pengaruh kelompok oligarki (politisi dan pengusaha) serta tindakan-tindak kolutif di dalam pengelolaan pemerintahan.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment