Ada banyak cara utk memahami al-maghfurlah Gus Dur (GD), dan hal itu tentu sangat tergantung pada kapasitas pihak yang berusaha memahami dan konteksnya. Sosok dan pemikiran serta kiprah almaghfurlah bisa diibaratkan sebuah teks yang dapat diinterpretasikan nyaris tanpa batas, dan karenanya potensi munculnya perbedaan interpretasi teks tersebut juga bukan kemustahilan. Penafsir yang memiliki latar pemahaman sufi dengan yang bukan, misalnya, akan berbeda ketika memahami sosok almaghfurlah, ujaran beliau, dan juga praksis beliau selama masih ada. Bahkan ketika GD telah tiada pun teks tersebut tak pernah selesai, kering, dan mengenal kata pamungkas utk diinterpretasikan serta digali terus menerus.
Tafsir Menko Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli (RR), mengenai rasionalitas yang dikemukakan oleh GD, bisa jadi akan berbeda dengan yang saya pahami. RR mengatakan bahwa GD mengajarkan pada beliau agar 'berfikir tidak rasional' dalam pengertian bahwa "tidak semua masalah dapat diselesaikan secara rasional." RR menggunakan contoh saat beliau diminta bicara ttg ekonomi di depan khalayak di sebuah Ponpes yang ternyata tidak nyambung, dan almaghfurlah mengatakan bahwa "kalau berhadapan dengan rakyat, tidak boleh seperti dosen." Demikian pula nasihat GD agar RR tidak terpaku pada angka-anga ketika bicara dengan rakyat di lapis bawah.
Bagi saya, apa yang dikatakan almaghfurlah bukanlah anti-rasionalitas, tetapi jutsru sebuah anjuran agar rasional. RR tidak rasional ketika beliau bicara di luar konteks khalayak yang memang tidak paham dengan cara komunikasi yang memakai bahasa "asing" seperti dosen, dan mungkin sepi humor, kendati sarat angka. Rasionalitas di sini adalah bagaimana memerhatikan kontekstualitas, bukan soal menggunakan nalar belaka. GD adalah sosok yang sangat mengutamakan penalaran, namun senantiasa berusaha mengaitkan penalaran tsb dengan konteks di mana nalar digunakan. Ketika beliau bicara di khalayak ponpes, tentu harus dibedakan dengan ketika bicara di depan seminar akademis atau bicara di forum ilmiah internasional. Kegagalan RR dalam hal ini adalah ketika rasionalitas yang dimilikinya tidak ditempatkan pada tempat yang pas. Dalam terma pesantren, ini termasuk dalam kategori "wadl'u as-syai' fi ghoiri mahallihi" (meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya).
Rasionalitas dalam seluruh pemikiran serta kiprah GD, menurut pemahaman saya, adalah tak terpisahkan. Ketika beliau menegur agar RR "tidak terlalu rasional" bukan berarti belalu anti rasionalitas, tetapi menganjurkan agar menempatkannya pada situasi dan kondisi. Dalam tradisi pesantren ada kata bijak: "Orang itu hendaknya bicara sesuai kemampuan para pendengarnya." Juergen Habermas menyebut rasionalitas seperti ini sebagai "practical rationality" (rasionalitas praktis) yang sangat penting dalam komunikasi antar-manusia. Tentu saja adalah tugas komunikator dan khalayak utk saling mendekatkan diri agar proses komunikasi mereka bermakna dan menghasilkan suatu pemahaman (walaupun belum tentu persetujuan) yang efektif.
Mengapa GD bisa bicara dan dipahami oleh khalayak yang beda-2 dan spektrumnya sangat luas itu, dari mulai orang kampung di Papua sampai para pejabat di PBB di New York? Saya yakin, itu bukan karena GD anti-rasionalitas, tetapi karena beliau mampu menggunakan rasionalitas secara kontekstual, alias tidak hantam kromo. Orang Jawa bilang "empan papan duga prayoga" (sesuai tempat dan waktu). Persoalannya, apakah kemampuan semacam ini dimiliki oleh para elit di negeri ini? Silakan anda menilai sendiri.
Simak tautan ini:
Tafsir Menko Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli (RR), mengenai rasionalitas yang dikemukakan oleh GD, bisa jadi akan berbeda dengan yang saya pahami. RR mengatakan bahwa GD mengajarkan pada beliau agar 'berfikir tidak rasional' dalam pengertian bahwa "tidak semua masalah dapat diselesaikan secara rasional." RR menggunakan contoh saat beliau diminta bicara ttg ekonomi di depan khalayak di sebuah Ponpes yang ternyata tidak nyambung, dan almaghfurlah mengatakan bahwa "kalau berhadapan dengan rakyat, tidak boleh seperti dosen." Demikian pula nasihat GD agar RR tidak terpaku pada angka-anga ketika bicara dengan rakyat di lapis bawah.
Bagi saya, apa yang dikatakan almaghfurlah bukanlah anti-rasionalitas, tetapi jutsru sebuah anjuran agar rasional. RR tidak rasional ketika beliau bicara di luar konteks khalayak yang memang tidak paham dengan cara komunikasi yang memakai bahasa "asing" seperti dosen, dan mungkin sepi humor, kendati sarat angka. Rasionalitas di sini adalah bagaimana memerhatikan kontekstualitas, bukan soal menggunakan nalar belaka. GD adalah sosok yang sangat mengutamakan penalaran, namun senantiasa berusaha mengaitkan penalaran tsb dengan konteks di mana nalar digunakan. Ketika beliau bicara di khalayak ponpes, tentu harus dibedakan dengan ketika bicara di depan seminar akademis atau bicara di forum ilmiah internasional. Kegagalan RR dalam hal ini adalah ketika rasionalitas yang dimilikinya tidak ditempatkan pada tempat yang pas. Dalam terma pesantren, ini termasuk dalam kategori "wadl'u as-syai' fi ghoiri mahallihi" (meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya).
Rasionalitas dalam seluruh pemikiran serta kiprah GD, menurut pemahaman saya, adalah tak terpisahkan. Ketika beliau menegur agar RR "tidak terlalu rasional" bukan berarti belalu anti rasionalitas, tetapi menganjurkan agar menempatkannya pada situasi dan kondisi. Dalam tradisi pesantren ada kata bijak: "Orang itu hendaknya bicara sesuai kemampuan para pendengarnya." Juergen Habermas menyebut rasionalitas seperti ini sebagai "practical rationality" (rasionalitas praktis) yang sangat penting dalam komunikasi antar-manusia. Tentu saja adalah tugas komunikator dan khalayak utk saling mendekatkan diri agar proses komunikasi mereka bermakna dan menghasilkan suatu pemahaman (walaupun belum tentu persetujuan) yang efektif.
Mengapa GD bisa bicara dan dipahami oleh khalayak yang beda-2 dan spektrumnya sangat luas itu, dari mulai orang kampung di Papua sampai para pejabat di PBB di New York? Saya yakin, itu bukan karena GD anti-rasionalitas, tetapi karena beliau mampu menggunakan rasionalitas secara kontekstual, alias tidak hantam kromo. Orang Jawa bilang "empan papan duga prayoga" (sesuai tempat dan waktu). Persoalannya, apakah kemampuan semacam ini dimiliki oleh para elit di negeri ini? Silakan anda menilai sendiri.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment