Bagaimana korupsi mau diberantas, jika MA malah menjadi komando dalam meringankan putusan yang dijatuhkan pada para koruptor? Kasus peringanan hukuman politisi Partai Demokrat (PD), Angelina Sondakh (AS) ini sangat menyakitkan hati para pendukung upaya pemberantasan korupsi. Sebab melalui upaya PK, ternyata hukuman yang sebelumnya sudah dijatuhkan padanya selama 12 tahun lantas berkurang menjadi tinggal 10 tahun. Ini sebuah putusan yang mengecewakan, karena biasanya justru MA cenderung memperberat hukuman para pelaku tipikor dalam kasasi.
Ketika berbagai upaya dilakukan utk memperlemah pemberantasan korupsi digeber oleh para penyelenggara negara, maka berita ini pun menjadi semacam pemberi semangat kepada mereka. KPK telah diperlemah dengan segala macam cara, kini ditambah lagi dengan pengurangan hukuman oleh MA. Padahal kita juga belum tahu apakah kinerja para pimpinan baru KPK nanti juga akan kebih bagus dan progressif dalam berfikir serta mencari terobosan utk memberantas tipikor yang masih sangat marak di negeri ini.
Presiden Jokowi (PJ) tak henti-hentinya menyerukan agar pemberantasan korupsi diperkuat. Beliau juga mendukung peningkatan fasilitas kepada KPK, sebagaimana dibuktikan dengan peremian gedung baru KPK yang lebih besar dan mentereng itu. Namun PJ tidak mungkin bekerja sendiri, karena masalah ini sangat terkait dengan efektifitas kinerja para lembaga penegak hukum, termasuk para Hakim baik di PN, PT, maupun MA. Nyatanya, diskrepansi antara harapan publik dan kinerja lembaga hukum masih sangat lebar jika berkaitan dengan putusan thd para pelaku tipikor. Dan kasus AS ini justru akan membuka peluang dan menjadi pendorong bagi para mitra pelaku tipikor utk tidak merasa jera karena penegakan hukum (law enforcement) diabaikan oleh lembaga peradilan sendiri.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment