Beberapa hari lagi, tepatnya 10-13 November 2015, akan digelar sebuah hajatan bertaraf internasional di Den Haag, Negeri Belanda, yang dinamakan pengadilan rakyat internasional (International People’s Tribunal/IPT) atas apa yang disebut sebagai kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada 1965. Inilah pagelaran internasional pertama bagi RI sebagai sang 'tertuduh' di publik internasional. Saya mengatakan pertama karena tidak tertutup kemungkinan bahwa sidang-sidang model IPT ini, jika sukses, akan digelar di masa depan dengan kasus-2 yg berbeda. IPT 1965 ini, sesuai dg namanya, terkait dengan peristiwa makar G/30S/PKI yang menyulut kerusuhan massal dan menelan korban sekitar 1 juta nyawa rakyat Indonesia, terutama pihak-pihak yang dianggap terkait dengan partai tersebut. Peristiwa ini tak pelak lagi merupakan salah satu dari beberapa peristiwa politik yang terjadi di abad ke duapuluh yang membawa bencana kemanusiaan luar biasa.
Itulah yang kemudian disebut dengan kejahatan kemanusiaan oleh para pengusul dan penyelenggara IPT 1965. Mereka adalah para survivors, aktivis HAM, cendekiawan, ormas, seniman, dll baik yang dari Indonesia maupun dari luar negeri yang menginginkan agar Pemerintah RI bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan ini, termasuk di dalamnya mengungkap secara gamblang pihak yang bertanggungjawab dan para pelakunya, mengadili mereka, meminta maaf pada para korban dan keluarga mereka, dan melakukan rekonsiliasi nasional. Menurut penyelenggara IPT, sampai saat Pemerintah RI, setelah hampir 50 th peristiwa G-30-S terjadi dan berganti beberapa kali Presiden, beluma ada upaya yang cukup serius dalam soal ini sehingga mereka menganggap perlu membawanya ke ranah publik internasional.
Terus terang saja, saya tidak mengikuti terlalu dekat ttg IPT 1965 ini sejak dari awalnya, sehingga informasi pun saya peroleh dari media dan medsos (http://historia.id/modern/pengadilan-internasional-peristiwa-1965; http://www.siperubahan.com/read/2242/Urgensi-Pengadilan-Rakyat-Internasional-atas-Tragedi-1965; http://www.gresnews.com/berita/politik/110611-internasionalisasi-tragedi-kemanusiaan-1965/0/). Upaya mengungkap peristiwa yang terkait dengan kekerasan terhadap sesama manusia dan melakukan rekonsiliasi adalah sebuah upaya yang patut diapresiasi. Pada saat yg sama, sebagai anak bangsa yang bertanggungjawab terhadap masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara, kita juga perlu memiliki kebijaksanaan agar upaya yang baik di atas tidak menciptakan keretakan dan bahkan disintegrasi. Dalam konteks lingkungan global seperti sekarang, negara-bangsa (nation state) sangat rentan dan rawan ketika terus menerus dihadapkan pada isu-isu yang berpotensi memecah. Di sinilah kepemimpinan nasional menjadi sangat penting perannya dalam merespon secara cerdas aspirasi-2 warganegara yang juga didukung oleh masyarakat internasional dan pada gilirannya akan memengaruhi kebijakan politik di negara-negara tersebut.
Rakyat Indonesia juga perlu menanggapi IPT 1965 secara proporsional dan kritis. Sebab sebagai sebuah inisiatif warganegara utk mengupayakan rekonsiliasi nasional, tentu hal ini bisa dimaknai positif. Namun seperti umumnya inisatif dan aspirasi politik, tentu akan selalu ada perkara-perkara yang bisa berdampak negatif juga. Tuntutan keadilan dari satu kelompok masyarakat tentu juga memerlukan pemahaman thd keadilan bagi kelompok lain. Dan yang tak kalah penting juga adalah pencermatan terhadap kepentingan-kepentingan politik dari pihak-pihak yang ada di dalamnya, sejauhmana dampaknya terhadap kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, kini dan yang akan datang.
Simak tautan ini:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151030184136-20-88534/sidang-rakyat-soal-kejahatan-kemanusiaan-1965-siap-digelar/
Friday, November 6, 2015
Home »
» MENYIMAK SIDANG PERADILAN RAKYAT INTERNASIONAL UNTUK KORBAN TRAGEDI 1965
0 comments:
Post a Comment