Oleh Muhammad AS Hikam
Pengantar: Tulisan bersambung berikut ini merupakan sebuah upaya memahami fenomena munculnya kekuatan non-negara yang menggunakan terorisme untuk mencapai tujuan membangun sebuah negara lintas bangsa (trans-nasional state). Kekuatan tersebut adalah apa yang disebut sebagai Islamic State in Iraq and Sham/Syria (ISIS) atau kini bernama Islamic State (IS). Semoga bermanfaat untuk menjadi bahan perbincangan dan pertukaran pikiran di antara para sahabat semua. Trims (MASH)
5. Menangkal Perkembangan dan Pengaruh ISIS
5.1 Menangkal Terorisme Ala Amerika, Efektifkah?
Jika kita perhatikan perkembangan terakhir dalam percaturan antar-bangsa terkait ISIS tampaknya kekuatan adidaya seperti AS masih belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari pola strategi memerangi terorisme di seluruh dunia (global war against terrorism) yang dijadikan landasan oleh mantan Presiden AS, George Bush. AS masih memandang dirinya, dan dipandang oleh banyak negara di dunia, sebagai pimpinan usaha besar tersebut. Ini bukan saja karena negeri Paman Sam tersebut pernah menjadi target serangan teroris di rumah sendiri, terutama tragedi 11 September 2001, tetapi juga karena ia menjadi target kaum teroris di hampir semua belahan dunia. Kepentingan-kepentingan AS, sebagai negara adikuasa nomor satu di dunia, ada di seluruh muka bumi ini. Pangkalan militer yang jumlahnya ratusan, baik berukuran besar maupun sedang dan kecil, adalah salah satu target aksi teroris. Demikian pula kepentingan strategis lain seperti ekonomi, geopolitik, iptek, dan lain-lain, yang di satu pihak membuat negeri tersebut sangat kuat dan hegemonik, tetapi di pihak lain juga rentan (vulnerable) terhadap aksi teroris yang acapkali tak terduga dan menggunakan cara-cara inkonvensional, seperti bom bunuh diri.
Presiden Barrack Obama yang mewarisi “PR” yang ditinggalkan oleh Presiden George Bush, memang berusaha untuk mengambil dari pendahulunya. Jika George Bush terkesan agresif dan menggunakan gaya "cowboy", tergambar dalam pidatonya yang terkenal 'kalau tidak bersama kami, artinya melawan kami', serta lebih menekankan kekuatan keras (hard power), maka Barrack Obama menggunakan cara yang lebih terkesan 'moderat' serta tidak gagah-gagahan, kendati tetap tegas (firm). Obama menolak menggunakan istilah-istilah yang sensitif di telinga umat Muslim dunia, seperti "Ekstrimisme Islam," "Fasisme Islam," "Jihadi", dan sejenisnya. Obama lebih memilih memakai istilah yg "jenerik" seperti "teroris.", dan ia cukup konsisten dengan strategi komunikasi seperti itu dengan alasan jangan sampai perang melawan terorisme itu dianggap oleh dunia Islam sebagai perang melawan Islam.
Sayangnya strategi komunikasi publik seperti ini tidak selalu diterima di AS sendiri maupun di kalangan kelompok Islam tertentu. Di dalam negeri, khususnya dimata kelompok konservatif, Obama dianggap tidak jelas dan menghindar dari kenyataan bahwa yang dihadapi memang adalah kelompok teroris yang menggunakan ideologi Islam radikal. Di mata sebagian umat Islam, terutama yang antipati terhadap Amerika Serikat, strategi Obama hanya dianggap sebagai kamuflase atau bahkan hipokrisi. Mereka menganggap bahwa kata-kata jenerik tersebut belum bisa menutupi tindakan-tindakan diskriminatif terhadap warganegara Muslim di AS dan Eropa yang mendapat tekanan psikologis dan fisik karena fobia terhadap Islam yang marak pasca 11 September 2001.
Pendekatan yang digunakan Obama dalam menghadapi terorisme internasional merupakan gabungan antara hard power dan soft power, atau yg dikenal dengan konsep smart power (kekuatan cerdas). Smart power pada hakekatnya adalah gabungan kekuatan militer, diplomasi, serta pendekatan kultural terhadap pihak-pihak lawan. Dengan pendekatan ini Obama dianggap berhasil menghentikan gerak maju Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan dan Pakistan, dan bahkan membunuh Osama bin Laden pada 2 Mei 2011. Rencana penarikan pasukan AS dari Irak dilaksanakan pada 2011, utk penarikan pasukan dari Afghanistan pada akhir 2014 tetapi belum terlaksana. Kini fokus Obama adalah menghentikan gerakan militer ISIS atau ISIL yang jauh lebih mengancam ketimbang organisasi-organisasi teroris sebelumnya. Berbeda dengan Taliban, bukan saja ISIS menggunakan teror tetapi juga penyebaran ideologi ekstrim dan rekrutmen personel di Timteng, Afrika Utara, Asia Tengah, Asia Tenggara, dan bahkan ke AS serta Eropa.
Bagi negara seperti Indonesia, modus baru yang lebih tepat dengan konteks keamanan nasionalnya harus dikembangkan sendiri ketimbang hanya mengandalkan model pendelatan AS semata dalam menghadapi dan menangkal radikalisme. Indonesia telah menunjukkan keberhasilan menghentikan aksi-aksi teror dengan pendekatan penegakan hukum melalui Polri, khususnya Densus 88 dan kerjasama dengan TNI serta intelijen negara. Pendekatan yg lebih lunak (soft) perlu dikembangkan agar kekerasan yang memakai dalih agama, seberapa kecilpun bisa diatasi, dikurangi, dan akhirnya dihilangkan sama sekali.
5.2 Sikap Pemerintah dan Masyarakat Indonesia Terhadap ISIS
Pada umumnya, reaksi masyarakat Indonesia sangat menentang ISIS karena dianggap melakukan tindakan radikal dan kekerasan yang berlebihan, bahkan ke sesama umat Muslim lainnya. Reaksi ini juga dinyatakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menolak keberadaan ISIS, serta memberikan empat point pernyataan resmi MUI, yaitu pertama, ISIS adalah gerakan radikal yang mengatasnamakan agama Islam tetapi tidak mengedepankan rasa kasih sayang dan pengampunan terhadap sesama umat Islam sendiri. Kedua, Organisasi dan institusi Islam di Indonesia harus menolak kehadiran ISIS karena berpotensi memecah belah umat Islam di Indonesia, serta mengganggu kedaulatan NKRI. Ketiga, menekankan pada seluruh umat Islam di Indonesia agar tidak mudah dihasut oleh ajaran ISIS yang beredar. Dan Keempat, Mendukung penuh tindakan pemerintah dalam memberikan hukuman yang tegas sesuai Undang-Undang terhadap semua orang yang memiliki keterkaitan dengan jaringan dan aktivitas terorisme di Indonesia.
Pada tataran Pemerintah, respon terhadap perkembangan ISIS di Indonesia dapat dilihat pada kebijakan Pemerintah Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo saat ini. Pada 14 September 2014, secara resmi Pemerintah Presiden SBY mengeluarkan 7 perintah resmi, yaitu:
1. Meningkatkan usaha pencegahan warga Indonesia untuk bergabung dalam ISIS di Suriah melalui pengawasan dan seleksi yang lebih ketat dalam menerbitkan passport untuk keberangkatan ke wilayah Timur Tengah, khususnya negara Turki.
2. Meningkatkan pengawasan warga Indonesia di Suriah untuk segera dipulangkan.
3. Memperketat pengawasaan warga negara asing, khusunya yang berasal dari
Timur Tengah di Indonesia.
4. Meningkatkan pengawasan setiap LP yang menampung terpidana kasus terorisme.
5. Meningkatkan keamanan di beberapa wilayah radikal Indonesia yang berpotensi menyebarluaskan ajaran ISIS, yaitu Ambon, Poso, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
6. Melakukan pendekatan “soft power” terhadap semua ustad agar mau melawan ajaran ISIS di setiap ceramahnya.
7. Memberikan hukuman yang tegas terhadap semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan teroris di Indonesia.
Dari kebijakan di atas secara formal Pemerintah SBY telah merespon cukup tanggap dan cepat menghadapi perkembangan ISIS di Indonesia. Dalam instruksi tersirat ada dua bagian. yaitu strategi jangka pendek dan jangka panjang menghadapi kemungkinan penyebaran ISIS. Strategi jangka pendek dapat dilihat pada 6 instruksi (no 1,2,3,4,5, dan 7) karena sangat terkait dengan langkah antisipatif dari aparat penegak hukum, keamanan, dan lembaga pemerintah lainnya. Namun, pada no 6, instruksi tersebut jelas sekali sebagai strategi jangka panjang karena menggunakan pendekatan soft power. Strategi pendekatan soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, dalam hal ini pemerintah, tanpa melalui kegiatan yang memaksa.
Saat ini, salah satu hambatan yang dihadapi Pemerintah adalah Pada UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum cukup kuat untuk melakukan pencegahan terhadap penyebaran ajaran radikal. Hal ini terutama bila menggunakan media sosial, atau pun di tempat- tempat ibadah dalam bentuk pengajian dan khutbah, dan menangkap WNI yang pulang dari Suriah. Kondisi inilah yang menyebabkan aparat tidak memiliki landasan hukum yang memadai bagi mereka yang mendukung ISIS di Indonesia, dan bahkan menangkap mereka yang melakukan teror di luar wilayah NKRI. Saat ini, aparat penegak hukum hanya memiliki instrumen hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat digunakan untuk mendakwa pihak-pihak/ kelompok-kelompok tersebut apabila melakukan tindakan melawan negara/pemerintah, penyebaran fitnah dan sebagainya. Dengan demikian aparat pun tidak dapat menangkap individu/ kelompok yang melakukan dakwah yang menghasut warga sipil untuk mendukung dan bergabung dengan kelompok ISIS. Kondisi instrument legal (UU No. 15/2003 Tentang Tindak Pidana Terorism) yang belum diperbaharui ini tampaknya memberikan keleluasaan kelompok-kelompok teror dalam merancang taktis dan modus operandinya untuk menyebarkan ajaran dan pengaruh ISIS di Indonesia.
Pemerintahan Presiden Jokowi juga menyebut ISIS sebagai ancaman berbahaya bagi NKRI. Penguatan kerjasama antara TNI dan Polri untuk membendung pengaruh ISIS dari luar dan penyebaran dari dalam diintensifkan. Keseriusan Presiden Jokowi dalam menghadapi ISIS ini ditampilkan melalui pemberian pengarahan kepada para pimpinan TNI-Polri di auditorium STIK (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam pengarahan tersebut, hadir 246 perwira tinggi TNI dan Polri. Sebanyak 119 terdiri dari pejabat utama Mabes TNI dan Pangkotama dan 122 pejabat utama berasal dari Mabes Polri, termasuk para Kepala Polda. Presiden Jokowi ingin menunjukkan kepada bangsa Indonesia dan dunia luar bahwa sinergi antara TNI-Polri harus dikedepankan untuk menanganani kasus terorisme, terlebih terhadap ISIS yang ideologinya sudah menyebar kemana-mana.
Pada tataran global, Presiden Jokowi mengajak negara-negara Asia-Afrika untuk memerangi ISIS seperti disampaikannya dalam pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta pada 22-23 April 2015 yang menyerukan bahwa “kita (anggota KAA, red.) harus menghadapi kekerasan, pertikaian dan radikalisme, ISIS…". Ajakan ini secara lugas mendorong negara-negara Asia-Afrika bekerja sama menumpas ISIS yang dua tahun terakhir ini mengalami perkembangan pesat. Melalui kerjasama dan koordinasi antar negara-negara Asia dan Afrika, maka pengaruh ISIS dipat dibendung sehingga penyebaran pengaruhnya di wilayah kedua benua tersebut dapat diredam.
Lebih lanjut, di bawah pemerintahan Jokowi, Indonesia juga telah berinisiatif menempatkan personel intelijen di luar negeri untuk memperkuat informasi terkait pergerakan warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan ISIS. Hal ini dilakukan misalnya dalam kerjasama intelijen antara RI dengan Turki karena adanya petunjuk bahwa WNI menjadikan negara yang disebut terakhir itu sebagai pintu masuk ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Untuk mengantisipasi dan meredam propaganda ISIS, Pmerintah RI juga telah bertindak pro aktif dengan memantau situs-situs website radikal di Indonesia. Bahkan BNPT bekerjasama dengan Kemkominfo melakukan upaya pemblokiran terhadap 22 situs internet radikal yang diduga kuat digunakan sebagai wahana penyebaran radikalisme termasuk ISIS. Tindakan pemblokiran tersebut dilakukan berdasarkan surat bernomor No. 149/K.BNPT/3/2015 Tentang Situs/Website Radikal yang dikirimkan ke dalam sistem filtering Kemkominfo sehingga pada bulan April 2015 Kemkominfo memblokir 3 (tiga) situs. Adapun situs-situs tersebut adalah:
1. arrahmah.com
2. voa-islam.com
3. ghur4ba.blogspot.com
4. panjimas.com
5. thoriquna.com
6. dakwatuna.com
7. kafilahmujahid.com
8. an-najah.net
9. muslimdaily.net
10. hidayatullah.com
11. salam-online.com
12. aqlislamiccenter.com
13. kiblat.net
14. dakwahmedia.com
15. muqawamah.com
16. lasdipo.com
17. gemaislam.com
18. eramuslim.com
19. daulahislam.com
20. shoutussalam.com
21. azzammedia.com dan
22. indonesiasupportislamicatate.blogspot.com
Kendati demikian, pemblokiran situs yang diduga menjadi wahana penyebaran radikalisme tersebut telah memicu kontroversi dan serangkaian aksi penolakan. Salah satu argumen yang diajukan adalah bahwa pemblokiran situs-situs tersebut dianggap telah ikut menyebarkan kebencian dan radikalisme sehingga ia telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Beberapa kalangan merasa keberatan apabila situs-situs Islam diblokir tanpa diajak berdiskus terlebih dahulu. MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Komisi I DPR RI, misalnya, menyesalkan kebijakan Kemkominfo dan BNPT karena dianggap secara tiba-tiba memutus akses ke 22 situs tersebut. Komisi I DPR menyesalkan sikap Kemkominfo dan BNPT yang tergesa-gesa memblokir situs tersebut tanpa memiliki batasan dalam menterjemahkan arti radikalisme.
Pemerintah kemudian merespon keberatan tersebut dengan membuka kembali 12 situs dengan alasan mereka ini dianggap memiliki itikad baik untuk diajak berdiskusi. Indikasinya adalah bahwa para pengelola situs ini mau untuk diminta melakukan normalisasi isi konten dari situs-situs yang sebelumnya mereka buat. Adapun ke 12 situs yang berencana akan kembali dibuka oleh pemerintah adalah sebagai berikut: arrahmah.com, hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, gemaislam.com, panjimas.com, muslimdaily.net, voa-islam.com, dakwatuna.com, an-najah.net, dan eramuslim.com. , sedangkan sisa situs-situs yang lain tetap diblokir.
Pemerhati terorisme, Sidney Jones, menyatakan bahwa media sosial berperan peran yang lebih besar dalam penyebaran pengaruh ISIS. Jones mengkhawatirkan alat propaganda ISIS seperti facebook dan twitter bukan saja berpotensi menarik dukungan ideologis, tetapi juga memunculkan “lone wolf attack” dari para pendukung ISIS. Pertanyaannya adalah, saat ini dank e depan apakah Pemerintah Indonesia telah mampu mengembangkan sistem pemantauan dan pencegahan media sosial secara efektif tanpa memicu kontroversi terlalu besar dari publik yang merupakan salah satu pengguna jejaring medsos di dunia itu.
6. Penutup
Gerakan radikal transnasional, termasuk perkembangan ISIS sejak 2013, adalah salah satu ancaman bagi keamanan nasional yang perlu diantisipasi, dihadapi, dan ditanggulangi secara komprehensif, sistematis, dan berkeinambungan di Indonesia. Bahaya ancaman yang disebabkan oleh berkembangnya ideologi dan gerakan-gerakan radikal transnasional tersebut tidak hanya dirasakan di wilayah-wilayah Timur Tengah, Afrika, dan Eropa, namun juga di kawasan Asia Tenggara dan Australia, karena kemampuan gerakan tersebut melibatkan warganegara dari lintas-negara dan lintas benua.
Dalam rangka membendung dan meredam pengaruh radikalisme serta gerakan-gerakan yang dihasilkannya, maka pendekatan yang bersifat keras (hard power) saja tidak akan efektif, sehingga diperlukan juga pendekatan yang lebih lunak (soft power). Negara dan penyelenggara negara, termasuk aparat keamanan dan penegak hukum, perlu bersinergi dengan masyarakat sipil yang dalam konteks negara seperti Indonesia kian memiliki pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemampuan aktor-aktor non negara harus dimanfaatkan dalam bentuk keterlibatan dalam masalah keamanan nasional.
0 comments:
Post a Comment