Menjelang pergantian tahun Islam, 1 Muharram 1437 Hiriyah, ummat Islam Indonesia menyaksikan kembali terjadinya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kali ini terjadi di Aceh, tepatnya di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil. Modus operandi (MO) yang digunakan adalah pembakaran Gereja HKBP oleh sekelompok anggota masyarakat, setelah mereka menuntut pembongkaran dengan alasan tidak ada izin. Korban tewas, menurut Polri, dilaporkan satu orang (kabar dari pihak masyarakat dua orang) dan beberapa orang luka. Implikasi kerusuhan dan kekerasan ini, selain korban manusia adalah pengungsian sekitar 1900 penduduk Aceh Singkil ke wilayah Propinsi Sumatera Utara, tepatnya di Mandailing Selatan.
Sampai dua hari pasca-insiden ini, belum jelas benar apa akar masalah aksi kerusuhan tsb. Pihak aparat keamanan, khususnya Polri, menyatakan akar masalahnya adalah upaya paksa dari sekelompok anggota masyarakat utk merobohkan Gereja yang kemudian dicoba dihentikan oleh aparat. Pihak Persatuan Gereja Indonesia (PGI), menganggap akar masalahnya adlh kelalaian atau pengabaian Pemerintah Daerah utk memproses perizinan pembangunan Gereja yang sudah lama diajukan. Pihak Komnas HAM juga mengamini pandangan PGI. Pihak organisasi mahasiswa, tepatnya GMKI, menyebut ketidak mampuan aparat intelijen (BIN) dalam mengantisipasi ancaman keamanan di daerah tsb. Dan tentu saja masih ada pandangan lain tentang akar persoalan, termasuk teori konspirasi bahwa insiden pembakaran Gereja HKBP ini sengaja dibuat oleh Pemerintah Presiden Jokowi (PJ)! (http://www.rmol.co/read/2015/10/14/220781/Kerusuhan-di-Aceh-Singkil-Diduga-Operasi-Jokowi-untuk-Obral-Aset-Negara-).
Apapun akar masalahnya, insiden ini sangat serius dan menunjukkan bahwa persoalan kekerasan mengatasnamakan agama di negeri ini masih belum teratasi. Kekerasan dan radikalisme yang melibatkan idiom, simbol, identitas, dan lembaga agama masih terus dimanfaatkan oleh para penolak keberagaman (pluralisme) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia, dan pihak-pihak yang lebih mengutamakan pemaksaan kehendak dalam menyelesaikan konflik. Mereka ini lebih percaya terhadap, dan mudah diprovokasi oleh, ideologi dan teologi kebencian terhadap 'liyan' (others) ketimbang mengutamakan titik temu dan kerjasamaantara satu dengan lainnya. Dan kekerasan berkedok agama ini masih bisa terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dari barat sampai ke timur, dari Aceh sampai Papua.
Dan seperti kasus-kasus konflik horizontal yg melibatkan ummat beragama sebelumnya, insiden di Aceh Singkil ini berakibat makin lebarnya jurang curiga, luka batin, dan anti-pati di dalam batang tubuh masyarakat. Mirip dengan insiden Tolikara, peristiwa di Singkil ini pun sangat rentan terhadap politisasi dan jika pendekatan Pemerintah hanya berputar-putar pada legalisme formal dan politik, tetapi mengabaikan dinamika masyarakat lokal, ia akan sulit utk diselesaikan secara tuntas. Insiden Tolikara dengan cepat bisa diatas karena kemampuan para tokoh agama dan masyarakat yg terkait utk mencari solusi secara adat dan kebijaksanaan lokal, serta tidak mau dipolitisasi oleh elit di Jakarta. Akankah kasus Singkil bisa dicarikan solusinya dengan cara dan metode yg sama? Wallahua'lam.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment