Lagi-lagi, Presiden Jokowi (PJ) harus berhadapan dengan partai pengusungnya sendiri, PDIP. Kali ini perkaranya adalah usulan revisi thd UU KPK yang disponsori oleh Fraksi PDIP di DPR yang, konon, ditolak oleh PJ. Seperti kasus-kasus perseteruan antara PDIP dengan PJ sebelumnya, seperti pencalonan Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri, pengangkatan Luhut Panjaitan sebagai Kastafpres (KSP), desakan memecat Menteri BUMN Rini Soemarno (RS), dll, publik di negeri ini disuguhi pameran yang sangat memuakkan dan konyol. PJ yang notabene adalah Presiden yang diajukan, diusung, dan akhirnya dicalonkan oleh PDIP, malah digenjot dan dibuat tidak bisa bekerja oleh para politisinya. Dalam episode ini belum diketahui apakah boss PDIP, Megawati Sukarnoputri (MS), merestui atau tidak. Yang jelas, sampai saat ini publik tetap memihak PJ, karena dalam setiap konflik melawan partainya beliau menunjukkan integritas sebagai seorang pemimpin yang independen, tidak bisa didikte oleh partainya, termasuk oleh Ketua Umum DPPnya sekalipun.
Dlm episode "revisi UU KPK" ini PJ dikabarkan telah mengatakan menolak revisi UU KPK, tetapi para politisi PDIP yang memang selama ini berseberagan dengan PJ juga tak mau sudah. Usaha mengganggu dan mengrecoki PJ oleh PDIP ini memang sebuah fenomena politik yang bisa dibilang paling aneh, dan memalukan, dan belum pernah terjadi dlm sejarah politik di negeri ini. Lebih-lebih di era ketika bangsa ini sudah sepakat melaksanakan demokrasi konstitusional dan berjalan selama 17 tahun lamanya. Sekurang-kurangnya nalar dan etika berpolitik yang lumrah akan mengatakan bahwa partai pendukung Presiden tentu akan berusaha mendukung kebijakan Pemerintahnya yg juga didukung oleh rakyat. Sayang yang terjadi dg PDIP tidak demikian. Justru sebagai partai yang berkuasa (the ruling party), ia berada di barisan paling depan dalam menggerogoti dan memperlemah PJ!
Rakyat Indonesia tentu menyaksikan pameran konyol para politisi PDIP ini secara gamblang, karena mereka bisa mengikuti dari media massa dan media sosial secara real time. Dan mereka sepenuhnya tahu bhw alasan-alasan yang diajukan untuk merevisi UU KPK jauh dari bermutu. Misalnya alasan pembatasan usia 12 tahun adalah karena Polri dan Jaksa sudah membaik kinerjanya dalam pemberantasan korupsi. Padahal, ukuran yang digunakan utk menilai membaiknya kiprah kedua aparat hukum tsb masih sangat jauh jika dibandingkan dengan hasil kinerja KPK. Para politisi itu sama sekali mengabaikan pandangan publik yang masih sangat tidak percaya kepada kinerja kedua lembaga tsb, sama dengan ketidak percayaan mereka thd DPR sendiri. Demikian juga alasan bahwa KPK dianggap sebagai "merasa sebagai superbody" sehingga perlu dipreteli beberapa kewenangannya. Pertanyaannya, bagaimana orang bisa memakai istilah "merasa" sebagai alasan rasional bagi suatu perubahan yang fundamental seperti revisi UU?
Walhasil, ulah PDIP dan para politisinya di Senayan dlm episode ini merupakan sebuah fenomena politik yang perlu menjadi perhatian para ilmuwan dan pengamat politik serta pakar ketatanegaraan di seluruh dunia. Siapa tahu pertikaian antara partai peguasa dan Presidennya di Indonesia ini mungkin merupakan sebuah fenomena yang khas. Mungkin sebuah teori tentang "masochisme politik" (political masochism) perlu diperkenalkan dalam khazanah ilmu politik atau psikologi politik. Ini adalah sebuah penyakit mental berupa perusakan thd diri sendiri (self destruction) yang diakibatkan oleh depresi dan frustrasi berkepanjangan yg dirasakan oleh politisi karena mereka merasa tak kunjung meraih kekuasaan kendati mereka sudah berkuasa.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment