Saya sepakat dengan pandangan mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie (JA) bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan adanya izin tertulis Presiden untuk pemanggilan dan penyidikan anggota dewan hanya akan menambah hambatan prosedural dalam birokrasi dan menambah pekerjaan presiden. Dalam kondisi carut marut penegakan hukum, khususnya jika dikaitkan dengan upaya pelemahan KPK, putusan ini secara politik merupakan sebuah kemunduran atau setback.
Kemunduran yg saya maksud adalah kemungkinan birokrasi akan bisa dipergunakan utk menunda-nunda atau bahkan menghalangi proses penyidikan anggota Dewan. Ini juga akan membuka peluang kongkalikong antara Pemerintah dengan parpol dan.atau DPR yang anggotanya terlibat dalam tindak pidana sehingga akan menciptakan kemacetan (gridlock) proses yang kemudian dimanfaatkan oleh para politisi. Bisa jadi politisi yang berpotensi diperiksa, lantaran izin dari Presiden tidak kunjung keluar sampai selesai masa kerjanya, akan tetap ongkang-ongkang dan leha-leha.
Putusan MK mungkin telah memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan kepada pejabat negara, yg dalam hal ini anggota dewan, karena posisinya yang beda dengan warganegara biasa. Demikian pula, Presiden bisa saja mengatakan tidak akan mempersulit proses pemberian izin jika anggota Dewan diperiksa oleh penegak hukum. Namun kedua kemungkinan di atas masih belum mampu untuk memberikan rasa keadilan kepada rakyat Indonesia yang mengharapkan agar para pejabat negara semakin akuntabel. Dengan adanya putusan seperti ini, publik tentu akan menganggap bahwa anggota Dewan mendapat perlakuan istimewa, sementara fakta menunjukkan bahwa mereka semakin banyak disorot oleh rakyat.
Kendati putusan MK bersifat mengikat dan tidak bisa diganggu gugat, tetapi bukan tidak mungkin bahwa di kemudian hari aturan perundangan yg menjadi dasar diubah. Memang harus diakui hal ini belum pernah terjadi, tetapi rakyat Indonesia juga harus bisa melakukan koreksi kepada putusan MK yang tidak sesuai dengan rasa keadilan. Jika MK dibiarkan membuat putusan yang semena-mena, sementara Hakim-hakim MK juga merupakan pejabat negara yang dipilih oleh Pemerintah dan DPR, bisa saja mereka juga menerima dan mendapatkan tekanan politik tertentu. Apalagi para Hakim MK juga terdiri atas mereka yang pernah menjadi politisi!
Harus ada proses perbaikan pada MK sehingga rasa keadilan rakyat semakin terjamin. Kecenderungan putusan-putusan MK yang tidak memihak keadilan harus bisa dikoreksi. Jika tidak, maka azas 'checks and balances' dalam sistem demokrasi konstitusional akan terancam, dan MK akan menjadi alat kekuasan yg menindas. Bukan hanya lembaga eksekutif dan legislatif saja yang bisa melakukan penyelewengan kekuasaan, tetapi lembaga yudikatif termasuk MK juga. Bahkan yang sangat mengerikan adalah jika MK telah ikut bermain politik, karena putusan lembaga ini bersifat mengikat dan tak bisa digangggu gugat.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment