Karena taktik
menggertak utk menggolkan 'proyek gentong babi' (pork barrel project)
yang disebut dengan Dana Aspirasi (DA) DPR 'dicuekin' Presiden Jokowi
(PJ), maka barisan politisi sontoloyo (poliyo) di Senayan mencoba
menggelar taktik baru, yaitu "Glembuk Solo" alias rayuan gaya Solo.
Dalam taktik glembuk Solo ini, diwacanakan bahwa apa yang diperjuangkan
para poliyo itu sama dan sebangun dengan arah dan tujuan Nawa Cita (NC),
yg notabene adlh platform politik PJ dan JK. Lewat 'pengglembukan' itu
diciptakanlah opini bhw NC dan DA adalah seperti pepatah Jawa 'tumbu
oleh tutup' artinya kotak mendapat tutupnya, alias klop, sinergis, dan
kompatibel. Dan karena itu kudu diterima oleh PJ.
Simak saja pengglembukan yang dinyatakan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Taufik Kurniawan (TK) ini. Dia mengatakan bhw dana aspirasi harus berintegrasi dengan program dari pemerintah pusat. Menurut politisi PAN itu, program dana aspirasi "harus mendukung Nawa Cita yang diusung pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla." Padahal, jika dirunut lebih jauh dan secara prinsipil, bukan taktik pengglembukan, maka antara DA dan NC adalah mirip rel kereta api yang tidak akan ketemu ujungnya. Sebab NC berangkat pada landasan filosofis menegakkan konstitusi, sementara DA tidak lain adalah proyek genthong babi yg berlawanan dg konstitusi. Bisa saja TK mengutip UU MD3 dan Peraturan DPR No. 4/2015, tetapi ia pada saat yang sama melupakan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yg sangat tegas membagi tugas keuangan tsb diantara lembaga negara. Pemerintah atau eksekutif adalah satu-2nya lembaga negara yang memiliki wewenang merencanakan dan melaksanakan pembangunan. DPR memberikan persetujuan tetapi tidak bisa mengkapling-kapling dengan membagi jatah (earmarking) kepada para anggotanya utk program Dapil mereka.
Oleh sebab itu, omongan TK adalah sekedar 'rayuan pulau kelapa' alias pengglembukan saja, setelah gertak sambal para sontoloyo DPR ternyata tidak digubris oleh PJ, kendati Menkumham sudah mulai kena pengaruh (karena pada dasarnya dia juga politisi). Saya masih lebih yakin dengan argumen dari FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), bahwa DA adalah "perampokan sistematis anggaran rakyat untuk dana politik" (lihat tautan di bawah) . Dalam kondisi ekonomi yang lemah dan monitoring serta penegakan hukum terhadap praktik tipikor yang sangat ketat, bisa dikatakan bahwa parpol-2 saat ini dan ke depan akan sangat sulit mendapatkan dana utk kampanye. Maka "perampokan sistematis" seperti proyek genthong babi adalah cara yang paling efektif dan efisien, serta "seolah-olah" legitimate!
Karena itu, saya kira PJ tidak perlu menggubris taktik 'glembuk Solo' dari para poliyo DPR itu. Apalagi, sebagai wong Solo sendiri, tentunya PJ sudah lebih tahu cara-cara pengglembukan seperti ini dilakukan. Lebih baik beliau cuek bebek dan jalan terus dengan upaya-upaya merealisasikan NC secara konstitusional serta bermartabat. Soal celaan dan hujatan serta gertakan maupun pengglembukan para poliyo, biarkan saja. Hitung-2 utk menambah pahala di bulan puasa.
Simak tautan ini:
http://www.cnnindonesia.com/politik/20150628170543-32-62881/rapbn-2016-jadi-ajang-perampokan-dana-politik/
Simak saja pengglembukan yang dinyatakan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Taufik Kurniawan (TK) ini. Dia mengatakan bhw dana aspirasi harus berintegrasi dengan program dari pemerintah pusat. Menurut politisi PAN itu, program dana aspirasi "harus mendukung Nawa Cita yang diusung pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla." Padahal, jika dirunut lebih jauh dan secara prinsipil, bukan taktik pengglembukan, maka antara DA dan NC adalah mirip rel kereta api yang tidak akan ketemu ujungnya. Sebab NC berangkat pada landasan filosofis menegakkan konstitusi, sementara DA tidak lain adalah proyek genthong babi yg berlawanan dg konstitusi. Bisa saja TK mengutip UU MD3 dan Peraturan DPR No. 4/2015, tetapi ia pada saat yang sama melupakan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yg sangat tegas membagi tugas keuangan tsb diantara lembaga negara. Pemerintah atau eksekutif adalah satu-2nya lembaga negara yang memiliki wewenang merencanakan dan melaksanakan pembangunan. DPR memberikan persetujuan tetapi tidak bisa mengkapling-kapling dengan membagi jatah (earmarking) kepada para anggotanya utk program Dapil mereka.
Oleh sebab itu, omongan TK adalah sekedar 'rayuan pulau kelapa' alias pengglembukan saja, setelah gertak sambal para sontoloyo DPR ternyata tidak digubris oleh PJ, kendati Menkumham sudah mulai kena pengaruh (karena pada dasarnya dia juga politisi). Saya masih lebih yakin dengan argumen dari FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), bahwa DA adalah "perampokan sistematis anggaran rakyat untuk dana politik" (lihat tautan di bawah) . Dalam kondisi ekonomi yang lemah dan monitoring serta penegakan hukum terhadap praktik tipikor yang sangat ketat, bisa dikatakan bahwa parpol-2 saat ini dan ke depan akan sangat sulit mendapatkan dana utk kampanye. Maka "perampokan sistematis" seperti proyek genthong babi adalah cara yang paling efektif dan efisien, serta "seolah-olah" legitimate!
Karena itu, saya kira PJ tidak perlu menggubris taktik 'glembuk Solo' dari para poliyo DPR itu. Apalagi, sebagai wong Solo sendiri, tentunya PJ sudah lebih tahu cara-cara pengglembukan seperti ini dilakukan. Lebih baik beliau cuek bebek dan jalan terus dengan upaya-upaya merealisasikan NC secara konstitusional serta bermartabat. Soal celaan dan hujatan serta gertakan maupun pengglembukan para poliyo, biarkan saja. Hitung-2 utk menambah pahala di bulan puasa.
Simak tautan ini:
http://www.cnnindonesia.com/politik/20150628170543-32-62881/rapbn-2016-jadi-ajang-perampokan-dana-politik/
0 comments:
Post a Comment