Jika kita gunakan perspektif politik yang pertama di atas utk menilai
apa yang dilakukan oleh parpol-parpol yang mengusung para mantan
koruptor sebagai calon dalam Pilkada, jelaslah mereka tidak memenuhi
syarat. Dalam kasus PAN, PKB, Golkar, dan PKS yg mengusung mantan
koruptor, tampak yang dijadikan ukuran utama bukanlah landasan etik
tetapi lebih pada formalisme. Bagi mereka, mantan koruptor sudah
dianggap 'bersih' karena sudah bebas dari penjara. Bahkan status pernah
dipenjara itu dikapitalisasi sebagai sebuah pengalaman yang postif,
karena "(s)eseorang yang sudah merasakan getirnya kehidupan di LP tentu
akan berbuat segala sesuatu agar tidak mengulangi lagi lembaran kelam
dalam kehidupannya." Argumen seperti ini selain terlalu mengada-ada,
juga sangat berlawanan dengan pandangan yang umum bahwa penjara di
negeri ini malah membuat 'alumninya' akan lebih berpengalaman utk
mengulangi tindakannya atau malah lebih canggih lagi. Bukan membuat jera
atau kapok!
Dengan demikian, pemahaman politik parpol-2 tsb hanyalah berdasarkan pragmatisme belaka dan bagi mereka politik tampaknya dianggap "steril" dari pertimbangan etik. Tujuan politik utk mencapai kebaikan umum tidak mungkin atau akan sangat berlawanan dengan paradigma politik seperti itu, karena pragmatisme tidak akan peduli kepada kepentingan umum. Yang penting hanyalah kepentingan pribadi dan kelompok. Jelaslah bahwa jika para pemilih di daerah pemilihan tsb memenangkan calon parpol-parpol tsb, berarti pemahaman politik pragmatis memang sudah merasuki masyarakat dan hegemonik. Dan resikonya tentu adalah sebuah tatanan politik yang tidak akan kompatibel dg tujuan memakmurkan masyarakat umum, apalagi kelompok yg masih terpinggirkan atau tertindas! Ironisnya, 3 dari 4 parpol-2 tersebut mengklaim menggunakan legitimasi agama (Islam) karena asal usul, ideologi, dan/atau basis massa mereka adalah ummat atau ormas-2 Islam. Lalu bagaimana dg klaim berpolitik dg "ahlaqul karimah" (ahlak yang mulia) yg mereka gembar-gemborkan sebagai slogan itu?
Simak tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2015/07/28/211450/PAN,-PKB,-PKS-dan-Golkar-Usung-Bekas-Koruptor-di-Pilkada-2015-
Dengan demikian, pemahaman politik parpol-2 tsb hanyalah berdasarkan pragmatisme belaka dan bagi mereka politik tampaknya dianggap "steril" dari pertimbangan etik. Tujuan politik utk mencapai kebaikan umum tidak mungkin atau akan sangat berlawanan dengan paradigma politik seperti itu, karena pragmatisme tidak akan peduli kepada kepentingan umum. Yang penting hanyalah kepentingan pribadi dan kelompok. Jelaslah bahwa jika para pemilih di daerah pemilihan tsb memenangkan calon parpol-parpol tsb, berarti pemahaman politik pragmatis memang sudah merasuki masyarakat dan hegemonik. Dan resikonya tentu adalah sebuah tatanan politik yang tidak akan kompatibel dg tujuan memakmurkan masyarakat umum, apalagi kelompok yg masih terpinggirkan atau tertindas! Ironisnya, 3 dari 4 parpol-2 tersebut mengklaim menggunakan legitimasi agama (Islam) karena asal usul, ideologi, dan/atau basis massa mereka adalah ummat atau ormas-2 Islam. Lalu bagaimana dg klaim berpolitik dg "ahlaqul karimah" (ahlak yang mulia) yg mereka gembar-gemborkan sebagai slogan itu?
Simak tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2015/07/28/211450/PAN,-PKB,-PKS-dan-Golkar-Usung-Bekas-Koruptor-di-Pilkada-2015-
0 comments:
Post a Comment