Bantah membantah kini tampaknya menjadi 'pola' dalam sistem komunikasi publik (SKM) Pemerintah. Setelah 'udreg-udregan' para pembantu Presiden Jokowi (PJ) dalam menyikapi insiden Tolikara, kini sudah muncul kembali bakubantah antara Komjen Budi Waseso (BWs), Kabareskrim Polri, dengan anggota Tim Komunikasi Kepresidenan, Teten Masudki (TM), terkait dengan pemeriksaan tersangka pencemaran nama baik atas nama dua pimpinan Komisi Yudisial (KY), Ketua KY Suparman Marzuki (SM) dan wakilnya Taufiqurrohman Syahuri (TS). Inti bahan perbantahan adalah statemen BWs, "(s)esuai perintah Presiden, setelah lebaran kami laksanakan pemeriksaan lanjutan..." terhadap kedua tersangka tsb. (http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/22/063685745/budi-waseso-soal-komisioner-ky-perintah-presiden-lanjutkan-pemeriksaan). Tetapi statemen ini dibantah oleh TM yang menyatakan "Presiden justru mempertanyakan status tersangka mereka..." Sebab, lanjut TM, "Presiden menganggap tindak pidana yang disangkakan pada keduanya terjadi dalam kapasitas mereka sebagai komisioner KY." Oleh sebab itu, mantan boss ICW itu menyatakan dirinya "... tidak tahu darimana Kepala Bareskrim ... mendapat informasi bahwa Presiden Jokowi memerintahkan pemeriksaan atas kedua komisioner KY itu harus segera dilaksanakan setelah Lebaran."
Bagaimana jadinya jika para penyelenggara di tingkat pusat nyaris setiap hari 'geseh' dalam menyikapi persoalan yang sangat strategis seperti ini? Saya tidak ingin masuk pada substansi kebenaran kedua statemen yg berlawanan tsb, apalagi memberi penilaian siapa yang berkata benar dan siapa yang bohong. Saya persilakan para sahabat untuk menilai sendiri atau menyelidikI validitas masing-masing statemen tsb. Fokus analisa saya adalah pola komunikasi publik Pemerintah yang berkualitas rendah dan kontraproduktif bagi manajemen Pemerintah sebuah negara besar dan kompleks, serta bagi PJ yg masih sedang melakukan konsolidasi pemerintahannya.
Kasus pencemaran nama baik yang disangkakan terhadap SM dan TS jelas bisa menggelinding dan berdampak serius bukan saja thd KY sebagai lembaga negara yg strategis, tetapi juga berimbas kepada Pemerintahan PJ. Setidaknya, PJ sendiri sudah beberapa kali melontarkan peringatan thd aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan-2 yang bisa dicitrakan sebagai kriminalisasi thd masing-masing lembaga. Jika peringatan tsb diabaikan, maka wibawa PJ dan Pemerintahnya pun pastinya akan mengalami erosi. PJ sebagai Kepala Pemerintahan bahkan sudah meminta penjelasan Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti (BH), ttg masalah ini dan mengutus Menko Polhukam Tedjo untuk menemui Hakim Sarpin Rizaldi (SR) sebagai pihak yang mengadukan kedua pimpinan KY tsb.
Setidaknya, menurut hemat saya, Kabareskrim Polri perlu menunggu hasil dari pertemuan Menko Polhukam dg SR dan laporan beliau kepada PJ. Secara prosedur legal formal, mungkin saja apa yg dilakukan BWs tidak menyalahi aturan karena beliau mesti menindaklanjuti proses pemeriksaan. Namun jika kemudian muncul saling-silang di ruang publik antara Kabareskrim dengan Istana, sekurang-2nya akan ada kesan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua lembaga tsb dan/ atau bahkan buruknya koordinasi mereka. Publik akan menilai bahwa pola komunikasi yang dimiliki oleh Pemerintah PJ sangat kontraproduktif bagi pengelolaa sistem Pemerintahannya, terutama dalam aspek sinergitas, pengendalian, dan pengawasan.
Jika pola tsb dimainkan oleh kepentingan-2 politik yg berseberangan dg Pemerintah, maka PJ akan menjadi sasaran paling utama walaupun belum tentu beliau yang menjadi akar persoalan. Konsolidasi Pemerintahan akan semakin terganggu sehingga berbagai target program dan agenda yg sudah dibuat pun bisa tersendat bahkan terbengkalai.
Simak tautan ini:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/23/063685768/bantah-buwas-presiden-tak-minta-ky-diperiksa-pasca-lebaran
Thursday, July 23, 2015
Home »
» POLA KOMUNIKASI 'BAKU BANTAH' DI RUANG PUBLIK OLEH PEJABAT NEGARA
0 comments:
Post a Comment