Dengan formula klise tersebut, mustahil masalah tawuran antar-prajurit
TNI//Polri akan bisa dikurangi, alih-alih diselesaikan. Sebab, para
elite kedua aparat tersebut tidak pernah benar-benar mencari akar
masalah, mengapa peristiwa tawuran tersebut selalu berulang dan menelan
korban nyawa para prajurit TNI dan Polri. Paradigma yang dipakai bukan
"tidak ada prajurit yang salah, tetapi atasannya". Justru yang selalu
disalahkan dan di-oknumisasi, adalah bawahan alias para prajurit
tersbut. Padahal kedua organisasi tersebut adalah organisasi yang
top-down, hierarchis, dengan aturan main sangat ketat dan perintah
atasan tak bisa diganggu gugat. Jadi, kalau terlalu sering terjadi
tawuran antara anak buah, seharusnya yang perlu dipertanyakan pertama
dan terutama adalah apa yang salah dengan para pemimpin di kedua lembaga
tsb?
Cara menjawab dengan menyalahkan anak buah tentu saja paling mudah, tetapi akibatnya tidak akan pernah menyelesaikan akarnya. Walaupun TNI dan Polri telah melaksanakan reformasi yang cukup fundamental pada tataran organisasi, namun masih dapat dipertanyakan apakah telah terjadi juga reformasi pada tataran kultur dan perilaku mereka. Inilah yang dari dulu tak pernah atau sulit sekali diukur. Pendekatan oknumisasi yang senantiasa diterapkan lebih sering memicu kecurigaan publik, apakah sebenarnya masalah tawuran itu hanya soal pribadi ataukan persoalan yang sejatinya bersifat struktural? Jika hanya pribadi, mengapa setiap terjadi tawuran yang konon sudah dianggap selesai dan dicarikan jalan damai, tak lama kemudian muncul kembali? Bahkan korban kehilangan nyawa pun tak pernah berkurang?
Walhasil, pemimpin TNI dan Polri tidak mungkin mempertahankan cara penjelasan dan penyelesaian masalah yg klise tsb. Mereka harus terbuka pada publik dan benar-2 mencari akar masalah, bukan oknumisai, tetapi menggali secara struktural. TNI dan Polri adalah organisasi yang sangat tergantung kepada pimpinan mereka dan aturan-aturan yang telah baku serta disiplin yg ketat. Maka kalau kasus tawuran semacam ini selalu berulang, saya tidak yakin bahwa masalahnya ada pada oknum-2 saja. Saya khawatir ada masalah yg sangat serius pada tataran organisasi dan pimpinannya.
Simak tautan ini:
http://keamanan.rmol.co/read/2015/07/13/209956/Polri-Minta-Anggota-TNI-AD-dan-Brimob-Tak-Terprovokasi-
Cara menjawab dengan menyalahkan anak buah tentu saja paling mudah, tetapi akibatnya tidak akan pernah menyelesaikan akarnya. Walaupun TNI dan Polri telah melaksanakan reformasi yang cukup fundamental pada tataran organisasi, namun masih dapat dipertanyakan apakah telah terjadi juga reformasi pada tataran kultur dan perilaku mereka. Inilah yang dari dulu tak pernah atau sulit sekali diukur. Pendekatan oknumisasi yang senantiasa diterapkan lebih sering memicu kecurigaan publik, apakah sebenarnya masalah tawuran itu hanya soal pribadi ataukan persoalan yang sejatinya bersifat struktural? Jika hanya pribadi, mengapa setiap terjadi tawuran yang konon sudah dianggap selesai dan dicarikan jalan damai, tak lama kemudian muncul kembali? Bahkan korban kehilangan nyawa pun tak pernah berkurang?
Walhasil, pemimpin TNI dan Polri tidak mungkin mempertahankan cara penjelasan dan penyelesaian masalah yg klise tsb. Mereka harus terbuka pada publik dan benar-2 mencari akar masalah, bukan oknumisai, tetapi menggali secara struktural. TNI dan Polri adalah organisasi yang sangat tergantung kepada pimpinan mereka dan aturan-aturan yang telah baku serta disiplin yg ketat. Maka kalau kasus tawuran semacam ini selalu berulang, saya tidak yakin bahwa masalahnya ada pada oknum-2 saja. Saya khawatir ada masalah yg sangat serius pada tataran organisasi dan pimpinannya.
Simak tautan ini:
http://keamanan.rmol.co/read/2015/07/13/209956/Polri-Minta-Anggota-TNI-AD-dan-Brimob-Tak-Terprovokasi-
0 comments:
Post a Comment