Mungkin hanya di negeri ini soal berlebaran saja dipersoalkan, seakan-akan memiliki nilai strategis yang begitu dahsyat. Presiden Jokowi (PJ) dan mantan Presiden RI ke 5, Megawati Sukarnoputri (MS) dikabarkan belum berlebaran dan itu lalu diribetkan seolah-2 berlebaran itu sebuah keharusan protokoler dan bukanya kebiasaan, tradisi, budaya yang sifatnya sukarela dan pribadi serta kekeluargaan. Karenanya, para politisi dan pengamat politik lantas menjadikan hal ini sebagai urusan kenegaraan dan politik yg seakan-akan sangat berdampak kepada performa kedua figur tersebut. Pihak pengamat ada yang bilang PJ tidak perlu berlebaran ke MS karena beliau adalah Presiden. Yang semestinya adalah MS sowan ke PJ. (http://politik.rmol.co/read/2015/07/21/210698/Pengamat:-Justru-Megawati-yang-Seharusnya-Sowan-ke-Jokowi-) Pihak politisi, khususnya PDIP, mengatakan kalau MS menemui PJ akan dipertanyakan, karena yang disebut terakhir itu tidak membuat acara open house lebaran (lihat tautan di bawah).
Padahal, jika dikembalikan pada khittahnya, tradisi lebaran, termasuk bertandang dan bermaaf-maafan, adalah urusan kesukarelaan pribadi dan kelompok masyarakat. Medianya juga bisa secara fisik, tatap muka, maupun melalui alat komunikasi yang lain. Dan karena lebaran di negeri ini konteksnya adalah budaya ketimuran, maka yang biasanya hadir adalah yang merasa lebih muda usianya, atau yang secara hubungan kekerabatan dan kepantasan berada dalam kategori muda, kendati usianya tidak lebih muda. Jika dikaitkan dengan protokoler dan birokrasi, maka berlebaran menjadi sangat formal dan kehilangan makna tradisi tsb, tetapi hanya sekadar ritual birokrasi biasa saja dan basa basi!.
Saya yakin baik MS maupun PJ (yang keduanya besar dalam tradisi Jawa) paham betul bahwa lebaran bukan urusan protokoler dan politis. Keduanya juga faham bhw hal ini bisa saja kemudian digoreng dan dimainkan menjadi seolah-olah urusan negara dan gengsi pribadi maupun kelembagaan yg bisa dipolitisasi. Dan tentu saja media akan menggunaan kesempatan utk menjadikannya sebagai bahan yang sensasional, apalagi jika kemudian sebagian pengamat dengan segala macam perspektifnya menambah-2i. Bagi saya, seandainya PJ sudah lebaran lewat telepon dengan MS pun sudah cukup. Kalaupun bertemu secara tatap muka juga bisa kapan saja dan tidak harus di Istana atau, bahkan, di rumah beliau-2 itu. Saya ingat, alm GD juga lebaran ke rumah Presiden RI ke 2, Pak Harto, setiap tahun, tidak peduli posisi beliau apa. Yang menjadi pegangan beliau adalah tradisi Jawa yang mengutamakan etiket sebagai yang lebih muda datang kepada yang dituakan. Dan seandainya tidak sempat bertemu secara tatap muka pun, saya kok yakin bhw GD akan berusaha kalau perlu menggunakan alat komunikasi seperti telepon.
Berlebaran adalah soal kehendak pribadi, kelompok masyarakat, yg sukarela dan mengikuti tradisi. Ia bukan masalah kewajiban birokrasi negara, apalagi soal gengsi, politik, dan/atau politisasi.
Simak tautan ini:
http://politik.rmol.co/read/2015/07/22/210707/PDIP:-Mega-Temui-Jokowi-Justru-Akan-Dipertanyakan-Publik-
Wednesday, July 22, 2015
Home »
» MENGAPA RIBET SOAL LEBARAN PRESIDEN JOKOWI DAN BU MEGA?
0 comments:
Post a Comment