Dari insiden shalat Idul Fitri 1436 di
Tolikara, Papua, saya melihat ada sisi lain yg memerlukan pencermatan
bukan saja oleh pihak yang langsung terkait, tetapi juga oleh masyarakat
di luar wilayah tsb. Misalnya saja surat dari pengurus GIDI, yang sudah
dianggap menjadi salah satu penyebab utama terjadinya rusuh di pagi
itu. Surat tsb sudah terbukti dikonsep dan ditadatangani oleh Sekretaris
Wilayah Gereja Injili di Indonesia (Gidi) Wilayah Tolikara, Papua,
Marthen Jingga (MJ) bersama Ketua Gidi Wilayah Tolikara, Nayus Wenda
(NW), yg terdiri atas surat yang pertama (S-1) dan yang sudah diralat
(S-2) itu. Bagi saya, dari kedua surat tersebut, ada sesuatu hal yg
perlu dicermati karena bisa menjadi petunjuk mengenai pemahaman para
pemimpin keagamaan di tingkat daerah tsb mengenai relasi antar-ummat
beragama, khususnya terkait aturan hukum yang mengaturnya.
Hemat saya, pemahaman dari kedua pemimin GIDI di Tolikara tersebut tampak sangat dipengaruhi oleh cara pandang yang berlingkup lokal, sehingga bagi mereka yang ada di luar wilayah tsb, apalagi dari perspektif nasional, dengan mudah bisa menimbulkan kesan diskriminatif dan melanggar hak utk melaksanakan peribadatan menurut keyakinan yg dipeluk seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Padahal, belum tentu maksud dari pembuat surat itu memang demikian. Sebab, seperti diakui oleh MJ sendiri, dirinya sangat terkejut dengan reaksi dan peristiwa yg ditimbulkan surat tersebut. Sebagai orang lokal, MJ dan NW mengakui bahwa kehidupan ummat beragama dan relasi antara ummat Islam dan Kristiani cukup harmonis dan telah berlangsung lama. MJ mengatakan "(y)ang terjadi ini di luar dugaan kami. Tidak terpikir oleh kami akan terjadi masalah seperti ini," (http://nasional.tempo.co/…/eksklusif-marthen-jingga-dan-nay…).
Jika analisa ini ada benarnya, dengan asumsi bhw statemen kedua pemuka GIDI tsb bisa dipercaya, maka solusi dg pendekatan penegakan hukum formal semata tidak akan menyentuh akar masalah. Malah hal itu bisa menciptakan permasalahan baru yang tidak terpikirkan sebelumnya, karena munculnya reaksi yang begitu massif dan (terkesan) represif. Mungkin saja pendekatan gakkum tsb akan "menyenangkan" orang-2 di Jakarta dan secara politis bisa dijadikan sebagai bukti 'ketegasan' dan komitmen thd HAM, dll, tetapi di wilayah seperti Tolikara akan ditanggapi secara berbeda. Bahkan bukan tidak mungkin insiden ini akan dijadikan alat propaganda kelompok-2 separatis, misalnya sebagai "bukti" reaksi cepat Pemerintah terhadap insiden yang terkait agama.
Tanpa berpretensi melakukan pembelaan terhadap aksi-aksi kekerasan di Tolikara itu, saya hanya ingin mengingatkan bahwa permasalahan lokal tidak serta merta dapat dipandang persis sama dengan permasalahan pada level nasional dengan kaca mata universal, legal-formal, dan seragam. Para penegak hukum, aktivis HAM, pemimpin-2 keagamaan, dan aparat Pemerintah (pusat dan daerah) seyogyanya juga mampu mengkaji kasus ini dari perspektif lokal. Saya tidak mengatakan bahwa dimensi makro seperti sosial-ekonomi dan politik nasional dan Papua tak penting utk dijadikan sebagai konteks. Tetapi dari bacaan atas surat GIDI dan reaksi para pembuatnya, saya kira perlu juga memperhatikan dimensi-2 yg mikro. Termasuk dalam hal itu adalah cara pemahaman para pemimpin agama di lapisan akar rumput yang jika dijuktaposisikan dengan cara pandang nasional tentu tidak lantas sama dan sebangun.
Kearifan dalam memandang persoalan sangat diperlukan dalam mencari solusi bagi konflik sosial. Melihat insiden Tolikara dari Tolikara, saya rasa tak kalah pentingnya dari melihat insiden Tolikara dari Jakarta.
Simak tautan ini:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/22/063685455/eksklusif-marthen-jingga-revisi-surat-edaran-ini-isinya
Hemat saya, pemahaman dari kedua pemimin GIDI di Tolikara tersebut tampak sangat dipengaruhi oleh cara pandang yang berlingkup lokal, sehingga bagi mereka yang ada di luar wilayah tsb, apalagi dari perspektif nasional, dengan mudah bisa menimbulkan kesan diskriminatif dan melanggar hak utk melaksanakan peribadatan menurut keyakinan yg dipeluk seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Padahal, belum tentu maksud dari pembuat surat itu memang demikian. Sebab, seperti diakui oleh MJ sendiri, dirinya sangat terkejut dengan reaksi dan peristiwa yg ditimbulkan surat tersebut. Sebagai orang lokal, MJ dan NW mengakui bahwa kehidupan ummat beragama dan relasi antara ummat Islam dan Kristiani cukup harmonis dan telah berlangsung lama. MJ mengatakan "(y)ang terjadi ini di luar dugaan kami. Tidak terpikir oleh kami akan terjadi masalah seperti ini," (http://nasional.tempo.co/…/eksklusif-marthen-jingga-dan-nay…).
Jika analisa ini ada benarnya, dengan asumsi bhw statemen kedua pemuka GIDI tsb bisa dipercaya, maka solusi dg pendekatan penegakan hukum formal semata tidak akan menyentuh akar masalah. Malah hal itu bisa menciptakan permasalahan baru yang tidak terpikirkan sebelumnya, karena munculnya reaksi yang begitu massif dan (terkesan) represif. Mungkin saja pendekatan gakkum tsb akan "menyenangkan" orang-2 di Jakarta dan secara politis bisa dijadikan sebagai bukti 'ketegasan' dan komitmen thd HAM, dll, tetapi di wilayah seperti Tolikara akan ditanggapi secara berbeda. Bahkan bukan tidak mungkin insiden ini akan dijadikan alat propaganda kelompok-2 separatis, misalnya sebagai "bukti" reaksi cepat Pemerintah terhadap insiden yang terkait agama.
Tanpa berpretensi melakukan pembelaan terhadap aksi-aksi kekerasan di Tolikara itu, saya hanya ingin mengingatkan bahwa permasalahan lokal tidak serta merta dapat dipandang persis sama dengan permasalahan pada level nasional dengan kaca mata universal, legal-formal, dan seragam. Para penegak hukum, aktivis HAM, pemimpin-2 keagamaan, dan aparat Pemerintah (pusat dan daerah) seyogyanya juga mampu mengkaji kasus ini dari perspektif lokal. Saya tidak mengatakan bahwa dimensi makro seperti sosial-ekonomi dan politik nasional dan Papua tak penting utk dijadikan sebagai konteks. Tetapi dari bacaan atas surat GIDI dan reaksi para pembuatnya, saya kira perlu juga memperhatikan dimensi-2 yg mikro. Termasuk dalam hal itu adalah cara pemahaman para pemimpin agama di lapisan akar rumput yang jika dijuktaposisikan dengan cara pandang nasional tentu tidak lantas sama dan sebangun.
Kearifan dalam memandang persoalan sangat diperlukan dalam mencari solusi bagi konflik sosial. Melihat insiden Tolikara dari Tolikara, saya rasa tak kalah pentingnya dari melihat insiden Tolikara dari Jakarta.
Simak tautan ini:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/22/063685455/eksklusif-marthen-jingga-revisi-surat-edaran-ini-isinya
0 comments:
Post a Comment