Mengikuti fatwa-2 MUI tidak
mungkin hanya menggunakan perspektif legal atau hukum fiqih saja. Fatwa
sebagai sebuah produk sebuah ormas yg memiliki klaim otoritas keagamaan
seperti MUI tidak sama dg misalnya yg dikeluarkan oleh ormas spt NU dan
Muhammadiyah, Persis, dll. MUI selalu memosisikan diri sbg representasi
dr ulama2 terlepas dr apa latarbelakang aliran dan madzhab fiqih mereka.
Di samping itu MUI memiliki sejarah yg lekat dg kekuasaan, bahkan
pernah menjadi bagian instrumen korporatisme negara pd masa Orba. Dg
latarbelakang itu akan naif jika orang memahami fatwa2 MUI seakan2 tdk
dimotivasi oleh kepentingan2 pragmatis organisasi dan tokoh2nya, relasi
mrk dg kekuasaan, dan visi mereka ttg kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Saya tentu tdk punya kapasitas dlm soal
fiqih shg tdk berpretensi mengomentari fatwa ttg BPJS dr aspek tsb.
Fokus saya adlh mengidentifikasi kepentingan yg direpresentasikan MUI
shg fatwa tsb dibuat dan konteksnya dg kehidupan bangsa saat ini. Hemat
saya MUI semestinya tahu bgmn implikasi dr fatwa tsb thd Pemerintahan
Presiden Jokowi (PJ) yg saat ini masih dlm proses konsolidasi dan
menghadapi problem strategis spt pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan rakyat sesuai platform politik yg diagendakan. Fatwa yg
terkait salah satu program strategis PJ yaitu BPJS ini jelas memiliki
resonansi yg kuat di ruang publik terutama ummat Islam. Dan apapun
isunya, jika ada kata "halal" dan "haram" sudah pasti akan memiliki daya
tarik yg tinggi. Sengaja atau tidak fatwa BPJS ini akan berhadapan dg
kebijakan nasional yg dibuat PJ dan juga merupskanperintah UU di negeri
ini.
Selain itu jika kita baca salah satu rekomendasi MUI adlh
dibuatnya sebuah sistem BPJS Syariah. Ini mengingatkan kita berbagai
lembaga yg memakai ajektif Syariah dg alasan bhw unmat Islam berhak
melaksanakan kegiatan yg terkait dg kehidupannya sesuai syariah Islam.
Sistem2 seperti perbankan, asuransi, sertifikasi makanan dan minuman
serta medis kini telah menggunakan label Syariah tsb. Di satu sisi
memang fenomena syariatisasi ini terjadi dan berkembang baik pada
tingkat nasional maupun global. Di pihak lain perlu juga diperhatikan
implikasi fenomena ini thd kehidupan masyarakat dan bangsa yg plural
seperti Indonesia.
Fatwa2 keagamaan yg berimplikasi strategis dan
punya sensitivitas tinggi seperti soal halal dan haramnya kebijakan
publik nasional seperti BPJS harus dicermati secara kritis. Termasuk di
sini apa dampaknya thd perpolitikan dan kohesi sosial baik pada jangka
pendek, menengah, dan panjang. Negara yg diwakili oleh pemerintah,
legislatur, dan alat penegak hukum, serta didukung masyarakat sipil
haruslah peka thdnya.
Tanpa menafikan hak MUI sebagai ormas
keagamaan utk berkiprah dlm bidangnya, saya berpandangan bhw fatwa BPJS
ini lebih banyak madharat ketimbang manfaatnya jika dilihat dr konteks
kepentingan nasional saat ini. Tujuan syariatisasi sistem pelayanan
kesehatan memiliki sensitivitas yg tak kurang besarnya ketimbang
perbankan dan sertifikasi halal dlm bidang makanan minuman dan obat2an.
Timing atau momen yg dipilih oleh MUI utk merilis fatwa ini juga perlu
dipertanyakan mengingat kondisi politik, ekonomi, dan sosial yg kurang
kondusif. Fatwa bukan saja mempunyai konsekuensi legal formal tetapi
juga sosial politik dan bahkan keamanan bagi masyarakat yg menjadi
subyek dan obyeknya.
Simak tautan ini:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/30/173687699/ini-alasan-mui-beri-fatwa-haram-bpjs-kesehatan
0 comments:
Post a Comment