Dinamika yang terjadi terkait usul
DPR utk merevisi UU KPK, dapat dipakai sebagai salah satu indikator
seberapa jauh komitmen Pemerintah Presiden Jokowi (PJ) terhadap
pemberantasan korupsi yang notebene merupakan salah satu prioritas dalam
Nawa Cita. Pada tataran retorika politik, publik tentu sudah banyak
emndengar, membaca, dan melihat pidato dan statemen para ponggawa
Pemerintah mengenai komitmen tesb. Sayangnya, dalam kenyataan di
lapangan justru sebaliknya yang terjadi: ada tren kian menjauhnya
Pemerintah dari perwujudan komitmen tsb jika dilihat dari bukti-2
empiris. Misalnya ketidak pedulioan Pemerintah terhadap upaya pelemahan
KPK yg dilancarkan oleh parpol, Parlemen, dan sebagian elit politik di
sekitar Istana sendiri.
Ihwal pelemahan KPK yang sistematis, massif dan terstruktur itu kian terlihat ketika PJ mengangkat plt pimpinan KPK sebagai pengganti Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW). Khusunya mucul kembalinya Taufiequrrahman Ruki (TR) sebagai plt Ketua KPK yang kirpahnya banyak dikritik oleh para pendukung KPK yang cenderung membuat lembaga antirasuah tsb tak kunjung bangkit pasca-konflik dengan Polri. Setelah itu muncullah serangan yg tak kalah kerasnya, yaitu melalui upaya perubahan (revisi) UU KPK. Lagi-2 TR tidak menunjukkan sikap yang jelas utk menolak, bahkan ia meminta agar KPK memiliki hak menyatakan SP3 alias penghentian perkara. Padahal salah satu ciri khas KPK selama ini adalah justru karena ia tdk mengenal SP3 tsb, sehingga semua tersangka tipikor selalu berakhir di bui (sebelum kasus praperadilan Budi Gunawan).
Namun Istana kini menampilkan sikap yang tidak padu: Menkumham mendukung revisi, sementara Menseskab mengatakan PJ menolak, sedang Kastafpres bilang walaupun PJ menolak revisi, tetapi belum waktunya menarik usulan DPR. Publik tentu bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana sikap PJ. Jika memang menolak, ya tidak perlu "mbulet" dengan segala retorika melalui para pembantunya. Sebab yang kemudian ditangkap oleh publik adalah ketidak jelasan, keraguan, dan sikap mengikuti ke mana angin bertiup alias plin-plan!
Kepercayaan rakyat seharusnya tidak dipermainkan oleh PJ dan para pembantunya, apalagi terkait dengan masalah pemberantasan korupsi itu. Semua orang tahu bahwa parpol pendukung PJ, khususnya PDIP, termasuk partai yg paling banyak terkait kasusu tipikor. Sehingga ketika PJ menyatakan komitmennya thd pemberantasan korupsi, otomatis rakyat ingin membuktikan sejauhmana PJ akan serius mendukung KPK ketika menghadapi serangan-2 termasuk dari partainya sendiri! Kini PJ tidak bisa berdalih, mbulet, atau hanya menunggu aman saja. PJ tidak bisa hanya menyuruh para pembantunya utk bermain-2 retorika yang saling berlawanan satu sama lain, lalu akhirnya ketika rakyat sudah sangat bingung dan cuek, lalu mengambil keputusan yang akan melemahkan KPK!
PJ harus tegas dalam membuat keputusan: ikut membela KPK atau ikut melemahkan KPK. Ini penting supaya rakyat Indonesia tidak lama-lama memutuskan apakah mereka akan tetap mendukung pemerintahannya atau mulai mencari alternatif yang lain.
Simak tautan ini:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/19/078676626/luhut-penarikan-revisi-uu-kpk-terlalu-dini
Ihwal pelemahan KPK yang sistematis, massif dan terstruktur itu kian terlihat ketika PJ mengangkat plt pimpinan KPK sebagai pengganti Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW). Khusunya mucul kembalinya Taufiequrrahman Ruki (TR) sebagai plt Ketua KPK yang kirpahnya banyak dikritik oleh para pendukung KPK yang cenderung membuat lembaga antirasuah tsb tak kunjung bangkit pasca-konflik dengan Polri. Setelah itu muncullah serangan yg tak kalah kerasnya, yaitu melalui upaya perubahan (revisi) UU KPK. Lagi-2 TR tidak menunjukkan sikap yang jelas utk menolak, bahkan ia meminta agar KPK memiliki hak menyatakan SP3 alias penghentian perkara. Padahal salah satu ciri khas KPK selama ini adalah justru karena ia tdk mengenal SP3 tsb, sehingga semua tersangka tipikor selalu berakhir di bui (sebelum kasus praperadilan Budi Gunawan).
Namun Istana kini menampilkan sikap yang tidak padu: Menkumham mendukung revisi, sementara Menseskab mengatakan PJ menolak, sedang Kastafpres bilang walaupun PJ menolak revisi, tetapi belum waktunya menarik usulan DPR. Publik tentu bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana sikap PJ. Jika memang menolak, ya tidak perlu "mbulet" dengan segala retorika melalui para pembantunya. Sebab yang kemudian ditangkap oleh publik adalah ketidak jelasan, keraguan, dan sikap mengikuti ke mana angin bertiup alias plin-plan!
Kepercayaan rakyat seharusnya tidak dipermainkan oleh PJ dan para pembantunya, apalagi terkait dengan masalah pemberantasan korupsi itu. Semua orang tahu bahwa parpol pendukung PJ, khususnya PDIP, termasuk partai yg paling banyak terkait kasusu tipikor. Sehingga ketika PJ menyatakan komitmennya thd pemberantasan korupsi, otomatis rakyat ingin membuktikan sejauhmana PJ akan serius mendukung KPK ketika menghadapi serangan-2 termasuk dari partainya sendiri! Kini PJ tidak bisa berdalih, mbulet, atau hanya menunggu aman saja. PJ tidak bisa hanya menyuruh para pembantunya utk bermain-2 retorika yang saling berlawanan satu sama lain, lalu akhirnya ketika rakyat sudah sangat bingung dan cuek, lalu mengambil keputusan yang akan melemahkan KPK!
PJ harus tegas dalam membuat keputusan: ikut membela KPK atau ikut melemahkan KPK. Ini penting supaya rakyat Indonesia tidak lama-lama memutuskan apakah mereka akan tetap mendukung pemerintahannya atau mulai mencari alternatif yang lain.
Simak tautan ini:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/19/078676626/luhut-penarikan-revisi-uu-kpk-terlalu-dini
0 comments:
Post a Comment