Pilihan Presiden Jokowi (PJ) terkait penunjukan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tampaknya ditanggapi secara negatif oleh warga nahdliyyin. Tentu hal itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, sejak PJ dilantik sebagai RI-1, sudah tersebar selentingan luas bahwa Waketum PBNU, As'ad Ali (AA), adalah calon kuat sebagai Pejaten-Satu tsb. Selentingan itu bukan cuma karena ada janji yg konon sudah diomongkan kesana kemari dan disaksikan oleh para Ulama dan petinggi ormas Islam terbesar di dunia itu. Tetapi faktanya AA entah sudah berapa kali saja dipanggil dan bertemu PJ di Istana, sehingga selentingan lantas ber "metamorfose" menjadi keyakinan di kalangan warga nahdliyyin tsb bahwa hal itu benar.
Tetapi yg namanya janji politik, seperti biasa, sangat mudah 'masuk angin'. Tengara seperti itu sejatinya sangat mudah dibaca. Misalnya, ketika proses penunjukan Ka-BIN yg baru tsb molor lebih dari 6 bulan lamanya, maka sudah bisa diprediksi bahwa pasti ada komplikasi. Apalagi kemudian berseliweran spekulasi tentang calon-calon Ka-BIN (bahkan menurut Menhan sampai berjumlah 9 calon!), ditambah berbagai spekulasi mengenai masalah 'keterlibatan' AA dalam kasus kematian alm. Munir, dan pemanggilan oleh KPK terkait kasus tipikor Anas Urbaningrum (AU). Dalam perpolitikan Indonesia, spekulasi dan rumor tidak bisa dianggap sepele. Sebab salah satu kebiasaan elit politik negeri ini adalah kepercayaan berlebihan kepada rumor ketimbang kepada fakta.
Belum lagi jika diingat betapa 'fragile' nya posisi politik PJ sendiri dalam konfigurasi kekuatan di Istana dan parpol selama 6 bulan masa jabatannya. Masih segar dlm ingatan kita kasus pencalonan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) yg heboh itu. Kendati konon PJ sendiri yang mencalonkannya sebagai Kapolri menggantikan Jend Pol. Sutarman, tetapi ujung-2nya malah gagal karena beliau tak jadi melantik dan BG harus puas dengan posisi Wakapolri. Bisa jadi, pasca-pencalonan BG itu, posisi AA sebagai caka-BIN juga mulai berubah total, dari sebelumnya sangat kuat, lalu masuk angin, terpuruk, dan akhirnya kolaps. Nalar yg digunakan elit politik adlh bhw pertimbangan politik demi stabilisasi dan konsolidasi kekuatan Istana adalah nomor wahid. Soal bagaimana dampak pilihan tsb thd lembaga telik sandi tsb dan implikasi strategisnya thd keamanan nasional, itu tak penting.
Tapi dari sisi lain, dg keputusan itu PJ sedang menanam dan menyiram bibit-bibit skeptisisme dan ketidakpercayaan (distrust) di kalang puluhan juta warga NU terhadap diri dan kepemimpinannya. Saya tdk tahu apakah PJ lupa thd fakta bahwa warga nahdliyyin adalah salah satu pemilihnya yg terbesar sehingga beliau unggul melawan Prabowo Subianto (PS) dlm Pilpres 2014. Jika skeptisisme dan distrust ini berlanjut, ia bisa merugikan bagi kepemimpinan PJ sendiri. Bagaimanapun dukungan dari akar rumput, khususnya massa Islam sangat diperlukan mengingat pemerintahan PJ masih belum ada tanda-tanda telah benar-benar mampu melakukan konsolidasi internal, apalagi eksternal. Dan dalam sejarah Republik ini, salah satu pilar stabilisasi politik nasional adlh kekuatan massa Islam yg antara lain bersumber dari ormas Islam terbesar tsb.
Dalam perhitungan politik PJ dan elite di sekitarnya, tampaknya mengabaikan variabel akar rumput (warga NU) dan memprioritaskan variabel kekuatan elit (dukungan parpol, khususnya PKPI) merupakan pilihan yg cerdas dan menguntungkan. Kita lihat saja apakah pilihan politik ini benar-2 akan mempercepat konsolidasi dan stabilitas serta penguatannya, atau malah sebaliknya. Yang jelas keputusan dan pesan politik PJ bukanlah sebuah kado menjelang bulan suci Ramadhan kepada warga nahdliyyin tahun ini.
Simak tautan ini:
http://news.okezone.com/read/2015/06/13/337/1164834/nahdliyin-kecewa-dengan-jokowi
Sunday, June 14, 2015
Home »
» KADO RAMADHAN PRESIDEN JOKOWI BUAT WARGA NAHDLIYYIN
0 comments:
Post a Comment