Istilah 'Islam Nusantara' (IN) kini sedang menjadi wacana yang didengungkan dan dikembangkan oleh kalangan pemikir NU. Menurut Ketua PBNU, KH. Said Aqil Siraj (SAS), IN adalah "gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air." Karena itu, menurut SAS, IN "... bukan barang baru di Indonesia." (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/03/10/nkz54e-islam-nusantara-jadi-kekhasan-muslim-indonesia). Sejauh pemahaman umum seperti itu, saya tidak menganggap ada hal yang benar-benar inovatif. Sebab, bukankah ajaran agama selalu mengalami proses kontekstualisasi ketika ia telah menjadi bagian dari fenomena sosial dan, karenanya, ajaran agama berpengaruh terhadap, dan dipengaruhi oleh, proses konstruksi terhadap kenyataan sosial dlm suatu masyarakat?
Persoalannya menjadi tidak mudah ketika Preasiden Jokowi (PJ) menjuktaposisikan IN dengan apa yang disebutnya "Islam di Nusantara" (IDN). Sebab dalam hal ini PJ kemudian menganggap IDN merupakan "lawan" dari IN dan yang disebut terakhir itu yang dianggapya lebih baik atau lebih benar. Jika ini dicermati lebih jauh, seolah-olah PJ mengatakan ada pertentangan antara "Islam" (di Nusantara) dengan IN. PJ telah membuat sebuah kategori pemilahan antar keduanya, namun tidak jelas apa yg disebut dengan Islam di Nusantara itu. Bisa jadi PJ menganggap IDI itu adalah tafsir thd ajaran Islam yang "tidak membumi" atau tidak "kontekstual" sebagaimana IN. Tetapi jika benar demikian, masih belum jelas apa tafsir thd Islam yg tidak membumi itu?
PJ bukanlah seorang teolog atau pakar mengenai pemikiran Islam. Namun sebagai pemimpin negara ini, kata-katanya tentu akan memiliki resonansi yang jauh dan melampaui ruang pidato di Masjid Istiqlal. Dengan demikian dikotomi antara IN dan IDN berpotensi akan menjadi bagian dari wacana publik dengan segala implikasinya. Bisa jadi pihak-pihak yang menolak gagasan IN, baik sebagai pemikiran maupun sebagai praksis, akan menganggap dikotomi tsb sebagai intervensi dan pemihakan negara dalam masalah tafsir agama. Implikasinya, ada pihak yang tafsirnya secara politik mendapat dukungan Negara dan ada yang dianggap tidak mendapat dukungan. IN jadinya akan berpotensi menjadi semacam "ideologi" yg didukung Negara dan bukan lagi hanya sebagai salah satu dari sekian banyak pemikiran mengenai Islam di negeri ini.
Hemat saya, baik IN maupun IDN (jika ini merupakan 'varian' pemikiran Islam di negeri ini), memiliki status epistemologis yang sama dan karena itu valorisasi (pengunggulan) oleh kekuasaan terhadap salah satunya bisa membuka peluang pada politisasi atasnya. Prinsip negara tidak boleh campur tangan terhadap masalah teologis agama-agama terancam ditinggalkan dan pidato PJ membuka peluang apropriasi gagasan dan praksis IN oleh kekuasaan. Sebelum hal yg ini terjadi, maka wacana tentang IN dan praksisnya seyogyanya juga diimbangi dengan pencermatan kritis terhadap potensi-2 politisasi yang justru akan berdampak negatif bagi pengembangannya bagi ummat, bangsa, dan negara RI.
Simak tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2015/06/15/206242/Jokowi-Bangga-NU-Wujudkan-Islam-Nusantara-Bukan-Islam-di-Nusantara-
0 comments:
Post a Comment