Pameran hipokrisi adalah bagian dari pentas politik dalam sebuah masyarakat dan negara yg sedang sakit. Dalam masyarakat dan negara yang sehat, bukan berarti hipokrisi tidak ada, tetapi mungkin tidak akan se-transparan, apalagi dipamerkan di ruang publik dan dirayakan sebagai sebuah keutamaan (virtue) oleh para pelaku dan pendukungnya. Sebuah masyarakat yang waras dan negara yg sistem demokrasinya berjalan baik, akan sangat sensitif jika ada politisi yang terendus punya kecenderungan hipokrit. Perilaku seperti itu jika terbongkar akan mengakibatkan ybs menuai sanksi moral, sosial, legal, dan politik.
Sebaliknya dengan masyarakat yg sakit dan negara yg sistem politiknya mengalami keterpurukan. Hipokrisi lantas dicampuradukkan dan disulap menjadi 'kecanggihan berpolitik', kepiawian, dan bahkan sebagai kemampuan 'bermain cantik.' Sulapan semacam ini terjadi dan terlepas dari radar moral dan etika politik, karena publik sudah mengangapnya sebagai hal yg normal. Lebih-2 jika media dan pengamat politik menjadi pemandu sorak para politisi hipokrit semacam itu. Maka sikap hipokritpun disulap menjadi sikap 'mengikuti kata hati nurani'. Jadi kemunafikan dan ketulusan nurani dalam wacana politik yg sakit menjadi sama dan sebangun! Implikasinya, klaim-klaim moral seperti 'mengikuti nurani' atau 'bersikap etik" atau "taat asas" (konsisten) menjadi verbalisme kosong karena memang hanya menjadi retorika. Jangan heran jika proyek seperti dana aspirasi DPR, yg menurut hemat saya adalah sebuah kegilaan itu, malah didukung oleh UU dan dianggap sebagai suatu hasil perjuangan para wakil rakyat!
Pameran kemunafikan kini telah dinormalkan oleh para politisi Senayan dan partai-partai politik. Publik yg kian merasa pengap dengan bau busuk politik, serta merta akan menuding kiprah politik sebagai sumber utama kebusukan; bahwa demokrasi adalah alat untuk menebar bau busuk supaya lebih merata; bahwa menjadi politisi bukanlah sebuah panggilan dan pengabdian thd publik (calling and public vocation), tetapi tak lebih dari sebuah pekerjaan untuk merebut kekuasaan dan mengeruk kekayaan. Implikasinya adalah, politik dan demokrasi lantas mengalami degradasi terus menerus baik pd tataran makna maupun perwujudan dan aplikasinya di dunia nyata. Gerakan reformasi pun kehilangan etosnya sebagai upaya merubah sistem politik yang repressif menjadi egaliter, karena ia juga akan dianggap sebagai sebuah gerakan merebut kekuasaan demi kekuasaan semata yg kemudian menghasilkan kekuasaan repressif yg baru!
Perpolitikan negeri ini semakin mengarah kepada process pembusukan (decaying process) dan sumber utamanya tak lain dan tak bukan adalah parpol dan politisi-2 sontoloyo yg ada di dalamnya. Diperlukan sebuah reformasi thd sistem parpol secara total, cepat, dan dalam tempo sesingkat-2nya jika kepentingan res publica dan NKRI ingin diselamatkan. Sistem demokrasi konstitusional yg dibangun para pendiri bangsa kita terlalu penting utk diserahkan hanya kepada parpol dan segelintir politisi sontoloyo yg bangga dengan pameran hipokrisinya di ruang publik.
Simak tautan ini:
http://politik.rmol.co/read/2015/06/13/206100/Bamsoet:-Priyo-Tak-Mungkin-Bisa-Bohongi-Hati-Nuraninya-
0 comments:
Post a Comment