Justru gagasan LHS harus diapresiasi dan, kalau nanti diterima oleh ummat Islam, bisa dikembangkan. Saya tidak melihat "keliberalan" LHS dalam soal gagasan mengintrodusir hal seperti ini. Sebab kalau LBA mau jujur, di kampung-2 dan pesantren-pesantren tradisional, soal menggunakan langgam utk mengucapkan pujian sebelum sholat sudah merupakan tradisi turun temurun. Demikian pula dalam tahlil dan istighosah, ayat-2 Al Qur'an dibaca dengan berbagai nada. Apakah itu keliru dan lalu dianggap liberal?
Saya justru melihat orang-2 nyinyir soal tilawah dg langgam Jawa ini adalah pendukung pikiran obskurantisme yg menjadi penghalang bagi kreatifitas serta pengembangan budaya, khusunya yg bersumber dari Islam. Orang-2 seperti ini jelas tidak akan bisa menerima khazanah budaya dan seni yang diciptakan secara kreatif oleh para Wali zaman dulu ketika membawa ajaran islam ke Nusantara. Nah kalau ada yang mengklaim sebagai nahdliyyin, apalagi sambil menggunakan embel-embel "jalan lurus" segala, saya malah mempertanyakan apakah orang-2 ini benar-2 memahami kultur NU? Wallahua'lam.
Simak video ini:
https://www.youtube.com/watch?v=hYZX6L1k-I8
0 comments:
Post a Comment