Saya pribadi termasuk orang yang mengagumi sepak terjang Rieke Diah Pitaloka (RDP) sebagai aktivis cum cendekiawan, dan kemudian politisi PDIP, serta wakil rakyat di Senayan. Komitmen perjuangannya terhadap wakyat kecil dan khususnya kaum pekerja, saya kira sudah menjadi catatan dan rekam jejaknya yang paling menon jopl selama satu dasawarsa terakhir ini. RDP, terlebih lagi, adalah sosok pejuang perempuan yang bukan hanya mumpuni dan cerdas, tetapi juga pemberani. Mungkin masih jarang seorang politisi perempuan yang sedang menapaki karir politik seperti RDP yang berani ikut bergerak dan memimpin demo para pekerja, baik ketika dalam posisi sebagai oposisi (era SBY) maupun sebagai pendukung pemerintah Presiden Jokowi (PJ) saat ini.
Namun saya agak mengernyitkan dahi ketika membaca kabar tautan ini, yg menyatakan bhw RDP minta maaf kepada kaum pekerja karena merasa bersalah mengajak mereka mendukung (memilih) PJ dalam Pilpres 2014. Alasannya, memang menarik, yaitu pandangannya bhw PJ "...gagal merealisasikan janji-janji kampanyenya untuk menyejahterakan buruh." Mantan Gubernur DKI itu juga "gagal merealisasikan janji-janji kampanyenya untuk menyejahterakan buruh." Menurutnya, "program “Tiga Layak Jokowi” (layak upah, layak kerja, dan layak hidup) tidak pernah direalisasikan pemerintah. Dan karenanya ia mengajak para mengajak para pekerja "... menduduki Istana Negara dalam peringatan Hari Buruh Sedunia pada Jumat, 1 Mei 2015."
Tentu sangat sah bagi RDP, sebagai politisi dan aktivis yang berjuang bagi para pekerja, utk mengritisi PJ dan siapapun juga. Hanya saja menurut hemat saya, pandangan RDP sangat dangkal dan cenderung ekonomis dalam nalar maupun etika politik. Secara nalar, RDP adalah bagian dari pemerintah PJ dari partai pendukung utama PJ. Jika RDP melakukan kritik tentu akan lebih elok melalui posisi di DPR dan dalam partai yang langsung bisa memberikan masukan dan usul perubahan. Memakai demo buruh dengan aksi menduduki Istana, hemat saya justru tindakan lebay, overblown, dan terkesan seperti balas dendam pribadi. Mutu RDP lantas tidak jauh-2 amat dari politisi PDIP yg juga nyinyir thd PJ, yakitu Efendi Smbolon (ES). Orang bisa berprasangka, apakah karena RDP dan ES tidak masuk dalam Kabinet lalu melakukan manuver murahan seperti itu?
RDP, yg punya latar belakang sarjana Filsafat (dg spesialisasi pemikiran filsuf perempuan Hannah Arendt) itu rasanya tahu persis bahwa politik pengerahan massa tideak selalu tepat dalam semua kondisi. Arendt mengingatkan dalam buku magnum opus-nya, "The Origins of Totalitasriansim" (Asas-muasal Totaliterisme) bagimana massa dr kelas sosial tertentu (baca =buruh) telah digunakan utk merebut kekuasaan secara manipulatif atas nama partai, khususnya dg propaganda-2 perjuangan. Apakah RDP justru sedang menggunakan cara-2 tersebut sehingga menjungkirbalikkan pesan mentor intelektualnya sendiri yg merupakan aktivis anti totaliterisme dan fasisme? Wallahua'lam.
Demo buruh adalah hak asasi yg harus dilindungi. Tetapi jika kegiatan tersebut tidak dilandasi dengan argumentasi yang nalar dan sesuai dengan konteksnya, maka ia hanyalah sebuah aksi politisasi yang belum tentu akan efektif dan bermanfaat bagi rakyat umum. Mengatakan bawa PJ gagal melaksanakan janji kampanye, memang mudah. Tetapi seharusnya seorang RDP paham juga apakah waktu yg tersedia (6 bulan) dan kendala yg dihadapi PJ (kemelut DPR, kemacetan politik antara Pemerintah dg DPR, tekanan-2 para sponsor dan juga ketegangan antara PJ dgh Mega, dll) sudah diperhitungkan sebelum menjatuhkan vonis tsb?
Jika RDP kini mengalami "metamorfosa" dan terdegradasi kualitasnya sebagai calon pemimpin dan negarawati Indonesia masa depan, tentu salah seorang yg paling kecewa adalah saya. Negeri ini sangat membutuhkan sosok-2 pemikir dan pejuang seperti RDP, setidaknya RDP yang saya kenal sampai saat ini.
Simak tautan ini:
http://www.tempo.co/read/news/2015/04/28/078661708/Kecewa-Jokowi-Rieke-PDIP-Ajak-Buruh-Duduki-Istana
Wednesday, April 29, 2015
Home »
» KEKECEWAAN RIEKE DIAH PITALOKA DAN DEMO BURUH 1 MEI
0 comments:
Post a Comment