Lenong politik di Jakarta dengan lakon "Kisah Seorang Pendekar Melawan Seratus Siluman", kini sudah hampir usai dan, bisa jadi, berakhir dengan tragis. Sang Pendekar harus mengundurkan diri dari dunia kang-ouw alias Rimba Persilatan jika kawanan siluman dari liok-lim alias Rimba Hijau nanti unggul. Tapi sebelum itu terjadi, sang pendekar tetap bergeming. Kendati berbagai cara sudah digunakan oleh lawannya, baik dg jurus-jurus pukulan yang kasat mata maupun jebakan-jebakan tak terlihat, dan bahkan menggunakan sang isteri sebagai umpan jebakan, sang pendekar masih tegar. The final count down, alias pertarungan pamungkas, antara sang Pendekar vs kawanan siluman itu kini makin mendekati hari H-nya.
Sang pendekar tetap lantang sesumbar ketika lawan-lawan mencoba merayu agar dia menyerah saja. "Lanjutkan saja seranganmu, tidak perlu ragu-ragu," katanya. Baginya tak penting apakah akan tetap menjadi pemimpin Rimba Persilatan atau harus mengasingkan diri. Tak penting apakah namanya akan dicerca dan dihujat oleh para pendukung lawan. Tak penting pula, apakah dirinya akan tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan atau pecundang. Pendekar ini hanya punya satu tekad: bahwa kebenaran, kejujuran, dan keterbukaan harus diperjuangkan dengan keberanian mengambil segala resiko. Karena itulah modal utama yang membuatnya kini menjadi pemimpin Rimba Persilatan Jakarta. Ia tidak punya dukungan partai persilatan manapun, juga bukan keturunan Pendekar sakti mandraguna. Bahkan jurus-jurus yang digunakan pun mirip-mirip jurus Dewa Mabuk saat menghadapi lawan-lawan para siluman yang demikian banyak dan kuat.
Pertarungan pamungkas itu akan disaksikan oleh seluruh jagad. Ia akan menjadi sebuah "monumen" yang akan diceritakan oleh generasi yang akan datang. Bahwa pernah ada seorang Pendekar Kelana dari pulau seberang yang mencoba menegakkan kebenaran dan kejujuran di Rimba Persilatan, tetapi mesti berhadapan dengan para siluman. Bahwa rakyat yang dibelanya lebih banyak yang diam dan bahkan sebagian menjadi pendukung para siluman itu. Dan itulah ironi dalam Rimba Persilatan persilatan yang konon mengutamakan kebenaran dan kebajikan serta keadilan. Ketika muncul seorang Pendekar yang mencoba konsisten dengan nilai-nilai tersebut, ternyata ia hanya berjuang sendirian. Kelompok Putih dan kelompok Hitam ternyata hanya klaim dan nama kosong belaka. Seperti perjuangan para kesatria dalam mitologi Yunani dan mitologi-2 bangsa lain, yang baik tidak selalu menang dan yang jahat tidak selalu kalah. Karena menang dan kalah, sejatinya adalah sebuah posisi yg sementara dan maya belaka.
Simak tautan ini:
http://u.msn.com/id-id/berita/nasional/ahok-ngapain-minta-maaf/ar-AAaz96x
0 comments:
Post a Comment