KPK dan pihak-2 yang
punya keprihatinan dengan pemberantasan korupsi, tentu sah-sah saja
melontarkan keprihatinan mereka terhadap agenda kebijakan publik yang
digagas Menkumham Yasonna Laoly (YL), terkait pemberian remisi terhadap
para koruptor. Presiden Jokowi (PJ), sebagai boss YL juga seharusnya
hati-2 dlm mengikuti wacana ini karena beliaulah yang pada akhirnya akan
menandatangani Peraturan Pemerintah ttg hal dimaksud. Terlebih lagi, PJ
akan diminta pertanggungjawaban beliau oleh para pendukungnya yang
mengharap beliau memiliki komitmen dan kosistensi dengan pemberantasan
korupsi. Kalaupun PJ tidak sampai menghukum mati para penjahat tipikor
besar, seperti dalam kasus kejahatan narkoba, setidaknya beliau tidak
terbujuk untuk menyamakan para koruptor dengan penjahat biasa, dengan
dalih legal formal sebagaimana kini dikampanyekan oleh YL dan berbagai
pihak yg mengamininya.
Dalih legal formal yang digunakan oleh YL sebenarnya sederhana saja: yakni jika seorang yang terhukum telah berada di lapas, maka ini menjadi urusan lembaga tsb utk membina mereka. Dengan demikian, maka mereka harus diperlakukan sama, tidak boleh ada diskriminasi termasuk dalam urusan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Dalih demikian tentu masuk akal dalam asumsi 'ceteris paribus', bahwa semua penghuni penjara itu harus diperlakukan sama termasuk dibina dan dinilai performanya. Namun demikian, saya tidak sepakat jika kebijakan publik yang terkait dengan hukuman tipikor ini hanya dibuat berdasarkan asumsi 'ceteris paribus' seperti itu. Sebab realitas dalam masyarakat, harapan masyarakat, dan juga rasa keadilan masyarakat terhadap suatu kejahatan juga perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai komponen dalam pembuatan kebijakan publik tsb.
Masyarakat yang mendambakan agar koruptor mendapat hukuman berat tentu akan berkeberatan jika terpidana korupsi kakap disamakan dengan, katakanlah, seorang kriminal biasa. Apalagi dlm realitas di lapas ada pengistimewaan perlakuan terhadap para penjahat tertentu. Faktanya, sering diberitakan bahwa penghuni-2 lapas tertentu malah bisa berbisnis dan mengurus pekerjaannya sebagaimana biasa. Bahkan kabarnya perdagangan narkoba di lapas juga tak kalah dahsyat di banding dengan di luar. Ini tentu harus dipakai sebagai imbangan dalih legal formal di atas, jika rasa keadilan ingin dicoba dipenuhi. Demikian pula argumentasi agar hukuman dijatuhkan seberat-2nya lebih dulu kepada para koruptor, lalu ketika di dalam penjara mereka dibina dan mendapat remisi yang sama dengan yg lain. Secara teoretis memang kedengaran bagus. Tetapi lagi-lagi fakta menunjukkan bahwa menghukum berat tipikor di negeri ini mudah diomongkan ketimbang dilaksanakan. Justru seringkali para Hakim tipikorlah yg suka memotong tuntutan hukuman JPU. Dengan lain perkataan, argumen memperberat hukuman itu sama sekali tidak nyambung dengan realitas, dan hanya bagus secara teori legal formal belaka.
Walhasil, agenda YL perlu dicermati, dikritisi, dan ditolak jika hanya memakai argumentasi yg melupakan aspek-2 sosial, politik, dan moral. Kebijakan publik tentang hukuman penjara, tidak hanya urusan legal formal. Ia juga menjadi urusan politik, urusan etik, urusan nalar publik, dsb. Saya berharap PJ berhati-2 dalam memberikan persetujuan kepada Menkumham karena, hemat saya, ada hitung-2an kepentingan politik dan boleh jadi malah kemungkinan balas jasa kepada para koruptor tertentu yang punya kedekatan dengan kekuatan-2 politik.
Simak tautan ini:
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/16/11393661/Soal.Remisi.untuk.Koruptor.KPK.Sudah.Biasa.Dikecewakan
Dalih legal formal yang digunakan oleh YL sebenarnya sederhana saja: yakni jika seorang yang terhukum telah berada di lapas, maka ini menjadi urusan lembaga tsb utk membina mereka. Dengan demikian, maka mereka harus diperlakukan sama, tidak boleh ada diskriminasi termasuk dalam urusan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Dalih demikian tentu masuk akal dalam asumsi 'ceteris paribus', bahwa semua penghuni penjara itu harus diperlakukan sama termasuk dibina dan dinilai performanya. Namun demikian, saya tidak sepakat jika kebijakan publik yang terkait dengan hukuman tipikor ini hanya dibuat berdasarkan asumsi 'ceteris paribus' seperti itu. Sebab realitas dalam masyarakat, harapan masyarakat, dan juga rasa keadilan masyarakat terhadap suatu kejahatan juga perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai komponen dalam pembuatan kebijakan publik tsb.
Masyarakat yang mendambakan agar koruptor mendapat hukuman berat tentu akan berkeberatan jika terpidana korupsi kakap disamakan dengan, katakanlah, seorang kriminal biasa. Apalagi dlm realitas di lapas ada pengistimewaan perlakuan terhadap para penjahat tertentu. Faktanya, sering diberitakan bahwa penghuni-2 lapas tertentu malah bisa berbisnis dan mengurus pekerjaannya sebagaimana biasa. Bahkan kabarnya perdagangan narkoba di lapas juga tak kalah dahsyat di banding dengan di luar. Ini tentu harus dipakai sebagai imbangan dalih legal formal di atas, jika rasa keadilan ingin dicoba dipenuhi. Demikian pula argumentasi agar hukuman dijatuhkan seberat-2nya lebih dulu kepada para koruptor, lalu ketika di dalam penjara mereka dibina dan mendapat remisi yang sama dengan yg lain. Secara teoretis memang kedengaran bagus. Tetapi lagi-lagi fakta menunjukkan bahwa menghukum berat tipikor di negeri ini mudah diomongkan ketimbang dilaksanakan. Justru seringkali para Hakim tipikorlah yg suka memotong tuntutan hukuman JPU. Dengan lain perkataan, argumen memperberat hukuman itu sama sekali tidak nyambung dengan realitas, dan hanya bagus secara teori legal formal belaka.
Walhasil, agenda YL perlu dicermati, dikritisi, dan ditolak jika hanya memakai argumentasi yg melupakan aspek-2 sosial, politik, dan moral. Kebijakan publik tentang hukuman penjara, tidak hanya urusan legal formal. Ia juga menjadi urusan politik, urusan etik, urusan nalar publik, dsb. Saya berharap PJ berhati-2 dalam memberikan persetujuan kepada Menkumham karena, hemat saya, ada hitung-2an kepentingan politik dan boleh jadi malah kemungkinan balas jasa kepada para koruptor tertentu yang punya kedekatan dengan kekuatan-2 politik.
Simak tautan ini:
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/16/11393661/Soal.Remisi.untuk.Koruptor.KPK.Sudah.Biasa.Dikecewakan
0 comments:
Post a Comment