Presiden Jokowi (PJ)
dengan tegas menolak gagasan remisi terhadap koruptor yg dihukum
penjara. Lain halnya dengan Wapres JK yg sebaliknya, menyetujui gagasan
tersebut. JK menyokong alasan legal formalisme yg pernah dikemukakan
oleh Menkumham, Yasonna Laolly (YL). Yaitu bwh para koruptor sudah
menjalani hukuman yg sama dengan napi kain sehingga mereka juga
diperlakukan sama, termasuk hak mendapat remisi sesuai aturan yg berlaku
bagi yg lain.
Kendati saya sudah pernah membahas argumentasi legal formalisme tsb dan
menolaknya, tetapi saya anggap perlu utk mengulanginya. Sebab yg bicara
adalah orang nomor 2 di negeri ini yg idealnya juga memiliki komitmen
yg sama dg PJ dalam pemberantasan korupsi. Perbedaan pandangan kedua
pemimpin tsb, hemat saya, bukan hanya sekadar pendekatan saja, tetapi
mewakiki dua paradigma yg berbeda sehingga akan mempunyai dampak yg
signifikan thd pembuatan kebijakan publik yg berlingkup nasional terkait
masalah strategis seperti penanggulangan dan pemberantasan korupsi itu.
JK tampaknya memakai landasan pragmatis dan legal positivisme dlm
menyikapi hukuman thd koruptor. Dengan demikian, pelaksanaan hukuman
bagi beliau tidak ada kaitannya dengan apa yang disebut dengan rasa
keadilan dan moralitas publik, demikian juga keterkaitannya dg kondisi
riil yang ada dlm masyarakat.
Padahal, rasa keadilan masyarakat
Indonesia sangat terusik dg ringannya hukuman yg selama ini dijatuhkan
kpd para koruptor kakap jika dibanding dg kejahatan2 biasa. Tuntutan
publik yg menginginkan agar penerapan hukuman mati thd para koruptor
dilaksanakan merupakan indikator ketidak puasan dan ketidak percayaan
publik thd penerapan hukuman yg kini berlaku bg koruptor. Demikian pula
angka statistik yg menunjukkan bhw rata2 para koruptor di negeri ini
hanya mendapatkan hukuman rata2 dua tahun penjara . Ini merupakan
indikasi masih terabaikannya rasa keadilan tsb. Tak heran jika adagium
"pisau hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas" menjadi sangat
populer di dlm wacana hukum di ruang publik.
Oleh sebab itu
paradigma legal positivisme menjadi anakronistik dlm kondisi seperti
ini. Ia menjadi dalih dan kamuflase bg kelompok kepentingan dan
kekuasaan melalui tafsir dan penerapan norma hukum yg berlaku. Sepintas
lalu, statemen JK dan YL punya landasan logika yg kuat. Namun jika
diperhadapkan dengan realitas dan prinsip keadilan maka sangat perlu utk
dipertanyakan motif di baliknya.
JK dan YL serta para pendukung
legal formalisme baik sengaja atau tidak telah menafikan aspek keadilan
yg subatamtif dan hidup dalam masyarakat. Pertimbangan yg digunakan
masih instrumetalistik sehingga cenderung bias pd kekuasaan. Dan jika
paradigma seperti ini dominan dalam dunia peradilan di negeri ini, maka
akan semakin terabaikan pula aspirasi dari mereka yang terpinggirkan dan
tak punya akses kpd kekuasaan.
Simak tautan ini:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150318225748-12-40169/soal-remisi-koruptor-jk-bela-menteri-laoly/
Thursday, March 19, 2015
Home »
» MENGAPA JK PRO PEMBERIAN REMISI KPD KORUPTOR?
0 comments:
Post a Comment