Kemarin saya berkesempatan bertemu dengan salah seorang konglomerat dan ngobrol tentang perkembangan di tanah air. Obrolan ngalor-ngidul itu akhirnya nyangkut juga tentang Gub DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau lebih akrab dikenal dengan panggilan Ahok. Saya menanyakan bagaimana pandangan sang konglomerat tersebut ttg kiprah pak Gubernur yang akhir-2 ini yang membuat gaduh sebagian elite politik di ibu kota, terutama tentang gaya bicaranya yang vulgar. Konglomerat tsb meminta saya membaca surat terbuka yg ditulis oleh Jaya Suprana (JS) di koran Sinar Harapan, karena dianggap bisa memberi petunjuk kira-2 demikianlah yang dia juga rasakan.
Membaca surat JSP, buat saya tidak ada yang mengagetkan.. Bahkan rasanya saya mengalami deja vu, karena hal yang sama pernah juga saya dengar sendiri dari mulut seorang tokoh yang saya kagumi, dari keturunan Tionghoa. Beliau bukan saja mantan aktivis pada akhir Orla, tetapi juga menjadi bagian dari konglomerat pada masa Orba. Saat itu Ahok baru beberapa bulan menjadi Wagub DKI bersama Pak Jokowi, tetapi gaya bicara terbuka dan terkesan vulgar dari mantan Bupati Belitung Timur itu sudah membuat sang tokoh tsb khawatir. Kekhawatiran tsb karena bisa jadi Ahok akan menciptakan musuh di kalangan mayoritas penduduk Jakarta yg Muslim, sehingga akan merugikan warga keturunan. Saat itu saya hanya tertawa mendengar kekhawatiran tsb dan menganggapnya sebagai reaksi lebay saja. Tetapi ternyata tiga tahun kemudian surat JS mengulang perasaan yg sama. Benar-2 sebuah deja vu!
Bagi saya surat tsb bukan hanya bermakna sebuah appeal atau permintaan kepada Ahok agar merubah cara berkomunikasi saja. Tetapi makna yg saya tangkap, dan lebih penting, adalah bahwa relasi antara warga Tionghoa dengan mayoritas di luarnya ternyata masih tetap rentan. Perjuangan utk mengintegrasikan etnis Tionghoa ke dalam nasion yg dilakukan para tokoh (termasuk alm GD), memang sudah menghasilkan berbagai kemajuan, tetapi masih perlu dijaga dan kekhawatiran akan mengalami regresi masih dirasakan oleh para elit mereka. Memori traumatik pd masa akhir Orla dan akhir Orba ternyata tetap bersemayam dalam pikiran sebagian warga Tionghoa sebagaimana digambarkan oleh JS. Karena itu sikap yang ditampilkan Ahok dikhawatirkan akan menjadi trigger munculnya kebencian dan hal-hal negatif lain yang akan mengganggu proses integrasi yg berlangsung dan masih ringkih tsb.
Surat JS bukan hanya berlaku bagi Ahok, tetapi bagi kita semua sebagai bangsa Indonesia. Bahwa proses menjadi sebiah bangsa tidaklah bisa dianggap sebagai sekali jadi. Ia adalah sebuah proses yang terus menerus dan bisa saja apa yg sudah dianggap jadi kemudian kembali ke belakang lagi. Kebangsaan kita selalu diuji dalam realitas dan proses yang terbuka. Saya tak setuju sepenuhnya dengan appeal JS kepada Ahok, karena seolah-2 perilaku sang Gubernur bisa membuyarkan capaian-2 yang baik dalam relasi antara etnis Tionghoa dan yg lain. Tetapi saya juga mencoba memahami bahwa realitas yang dirasakan oleh JS dan di share oleh sebagian elit Tionghoa bukan sesuatu yang mengada-ada. Ia adalah bukti bahwa kebangsaan bukanlah sesuatu "given", tetapi perlu terus diperjuangkan.
Simak tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2015/03/30/197390/Ahok:-Saya-Berhak-Bicara-Apapun,-Jaya-Suprayana-Mau-Provokasi-Warga-Turunan-
Tuesday, March 31, 2015
Home »
» MEMBACA SURAT TERBUKA JAYA SUPRANA KEPADA GUB AHOK
0 comments:
Post a Comment