MAHKAMAH AGUNG DAN ANARKI HUKUM. Putusan PN Purwokerto yg menolak praperadilan yg diajukan terhadap pihak Kepolisian Purwokerto, sesungguhnya ibarat air comberan yang disiram ke muka Mahkamah Agung (MA). Betapa tidak? Setelah putusan Hakim Sarpin Rizaldi (SR) yg mengabulkan gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG) vs KPK, MA sama sekali tidak punya nyali utk bersuara apalagi bersikap. Alih2 memberikan sinyal bhw lembaga peradilan tertinggi di negeri ini akan berbuat sesuatu, ia justru memberi sinyal sebaliknya: akan menolak upaya kasasi KPK. Jubir MA, Suhadi, malah woro2 bhw kasasi tdk bisa dilakukan karena tdk diatur oleh UU. KPK dibawah pimipinan baru, Taufiequrrahman Ruki (TR), pun dg cepat mengamini sehingga lembaga anti rasuah itupun kebanjiran praperadilan dari para tersangka tipikor.
Kini MA harus menanggung malu (kalau memang masih punya) ketika ternyata PN Purwokerto melalui Hakim Kristanto Sahat (KS) malah membuat "terobosan baru" dg menolak praperadilan dg tafsir dan argumentasi hukum yg lebih nalar. MA cuma bisa berdalih itu adlh "independensi hakim " dlm menyikapi kasus dua putusan praperadilan yg saling bertentangan tsb. Kalau nalar MA dipakai maka jika besuk atau lusa ada hakim yg berbeda2 lagi putusannya dg PN Purwokerto dan/ atau PN Jaksel, tentunya MA juga akan diam saja. Implikasinya akan sangat serius: tidak ada kepastian hukum. Dan kalau kelakuan MA demikian, apakah tidak mendingan lembaga itu dibubarkan saja. Sebab buat apa ada MA kalau anarki hukum lantas dikatakan independensi?
Sudah sejak lama saya mengkritisi MA yg gagal membuktikan pada rakyat dan NKRI dlm memproteksi hukum dan menjamin serta memerkuat keadilan. MA justru menjadi lembaga yg kian kehilangan marwah dan respek dari para pencari keadilan karena tdk responsif thd perkembangan dlm masyarakat. Kalaupun ada Hakim2 Agung seperti Artijo Alkostar (AA) yg dikenal tegas dlm memutuskan hukuman thd para pelaku pidana tipikor, hal itu lebih merupakan pengecualian dan bukan suatu yg umum dan "normal" di MA. Kasus kerancuan putusan praperadilan Jakarta Selatan dan Purwokerto ini membuktikan bhw kritik saya cukup beralasan dan valid. Konsekuensinya adalah bahwa kebutuhan reformasi total di lembaga ini memang merupakan "conditio sine qua non" atau keniscayaan mutlak jika Republik ini ingin bertahan keberadaannya dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berjalan sesuai amanat Konstitusi.
Menyikapi putusan Hakim KS ini, KPK hrs menggunakan ini sebagai bahan acuan utk melakukan PK dlm kasus praperadilan BG. Demikian pula rakyat Indonesia harus gencar mendesak agar MA direformasi dan dimulai dg mengganti para Hakim Agungnya yg regressif serta hanya mementingkan diri sendiri. Keselamatan dan keamanan serta kesejahteraan NKRI jangan sampai dikorbankan gara2 penegakan hukum yg tdk mampu menjadi pemberi keadilan kpd rakyat tetapi justru menjadi mainan para penegak hukum di lembaga-lembaga negara. Dan sumber utamanya adalah MA yg merupakan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Simak tautan ini:
http://www.solopos.com/2015/03/11/efek-putusan-sarpin-lo-polisi-purwokerto-nilai-putusan-hakim-sarpin-sesat-583855
0 comments:
Post a Comment