Seandainya kasus-kasus yang memiliki kesamaan dengan kasus Nenek Asyani (NA) ini dijadikan satu, mungkin bukan lagi 'potret buram' penegakan hukum yang kita punya. Tetapi potret kehancuran sistem hukum negeri ini, karena hukum dan keadilan sudah tak lagi nyambung. Proses peradilan NA bukan lagi merupakan penggelaran sebuah keadilan yang akan dicari dan temukan, tetapi lantas berubah menjadi arena perebutan dan pencitraan kuasa-kuasa. Proses peradilan itu menjadi sebuah pentas untuk investasi politik, mulai dari Menteri sampai Bupati, Wakil Bupati, pejabat Kejaksaan, PN, pengacara dll. NA barangkali masih menjadi pusat perhatian publik melalui media (harian nasional KOMPAS, misalnya, meletakkan kabar dan foto pengadilan ini di headlinenya hari ini). Tetapi fokus para 'investor politik', saya rasa bukanlah di sana. Mereka akan lebih mementingkan bagaimana proses dan hasil peradilan dari kasus ini menjadi wahana untuk meningkatkan citra dan menangguk perhatian dari publik, baik nasional maupun lokal.
Kasus-2 semacam ini kian membuktikan betapa sia-2nya jika hukum, proses
hukum, dan pencarian keadilan hanya dillihat dari satu dimensi yakni
legal formalisme belaka. Hukum dan proses hukum sama sekali tdk pernah
lepas dari penggelaran kuasa-kuasa melalui pencitraan, media, kekuatan
politik, dll yang ada di luarnya. Dimensi legal formal lebih merupakan
sebuah medium dan bukan faktor determinan. Apalagi klaim bahwa legal
formalisme akan bisa memberikan dan menjamin rasa keadilan. Ia menjadi
fatamorgana yang menipu dan menyesatkan.
Simak tautan ini:
http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3391504_4262.html
Simak tautan ini:
http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3391504_4262.html
0 comments:
Post a Comment