Menlu Australia, Julie Bishop (JB) mencoba menyelamatkan muka bossnya, PM Tony Abbot (TA), yang kini sedang tercoreng gara-gara statemen yang dianggap bernada melecehkan Indonesia khususnya rakyat Aceh. Seperti diketahui TA menyebut bantuan kemanusiaan Australia, ketika Aceh ditimpa musibah tsunami pada 2004, sebagai salah satu bukti kepedulian dan persahabatan negeri tsb dengan RI. TA mencoba menggunakan kasus itu utk merayu pemerintah RI agar mengurungkan eksekusi pidana mati terhadap dua warganegaranya yang termasuk dalam gang narkoba Bali-9. Alih-alih rayuan TA tsb membuat Pemerintah RI tertarik, justru malah sebaliknya. Ucapan TA menyulut reaksi keras dan negatif dari publik di negeri ini, khususnya warga Aceh, karena dianggap tidak relevan, tidak tulus, dan arogan. Mulai dari rakyat biasa sampai pejabat negara, kini rame-rame menunjukkan sikap tak simpatik kepada negeri jiran tsb. Bahkan gerakan mengumpulkan koin utk dikembalikan kepada Ausie, sebagai simbol penolakan terhadap pernyataan perdana menteri tersebut, kin sedang marak digelar
Inilah contoh paling gres kegagalan sebuah komunikasi dalam diplomasi, yang disebabkan karena kegagalan pemimpin memahami nilai budaya partnernya. Kendati Australia merupakan negara tetangga, sama dengan Singapura dan Malaysia, tetapi tak berarti pemimpin-2 negara itu memiliki sensitifitas budaya dalam berkomunikasi dengan Indonesia. Demikian pula sebaliknya, jika pemimpin-2 Indonesia tidak paham atau pura-pura tidak paham dengan budaya tetangganya, maka mudah sekali terjadi salah paham dan paham yg salah dalam berkomunikasi. Cara menyampaikan pesan, bahasa yang digunakan, gestur, dan konteks statemen yang diutarakan, semuanya sarat dengan pengaruh budaya tsb. Bagi TA jangan-2 statemen tsb sudah dianggap paling sopan dan 'halus' serta bermartabat. Mungkin bagi TA, maksudnya adalah mengingatkan RI bahwa sesama teman dan tetangga saling membantu. Mungkin TA mendapat nasihat dari para ahli Indonesia di negerinya agar menggunakan budaya balas budi tsb utk berdiplomasi dalam rangka membebaskan dua warganegaranya yg terancam eksekusi mati.
Sayangnya TA tidak mengucapkan rayuan tsb secara tertutup, tetapi di ruang publik. Ini membuat penafsiran bisa sangat bebas dan karena konteks hubungan RI dan Ausie memang sedang kurang bagus, maka statemen itu malah kontra-produktif. Alih-alih membuat orang Indonesia tersentuh, justru malah sebagian dari mereka 'kemropok' alias tersulut emosinya. Apalagi kemudian ada intertekstualitas omongan JB sebelumnya yang bernada mengancam Indonesia terkait wisata ke Bali. Maka, ucapan TA pun lantas dimaknai menjadi integral dlm satu paket 'ancaman' terhadap Indonesia. Bukan hanya Bali kini yang masuk dalam wacana "ancaman" pemerintah Ausie, tetapi juga Aceh! Saya tidak yakin bahwa upaya JB memberi penjelasan kepada Wapres JK akan segera mendinginkan suasana panas ini. Jangan-jangan sebaliknya malah. Apalagi jika JB merasa bahwa karena dia bisa meyakinkan JK, maka urusan selesai!
TA dan JB serta para pemimpin Indonesia harus memperhatikan betul pengaruh budaya dalam berdiplomasi. Ruang publik yang kian terbuka seperti sekarang bisa menjadi wahana bagi distorsi informasi dan bukan hanya sesuatu yang dalam dirinya pasti baik. TA perlu memilih dengan cermat statemen-2nya sehingga tidak muncul kesan menggurui (condescending), apalagi pongah (arrogant) dan merasa paling hebat. Pemimpin Indonesia juga mesti paham bagaimana budaya Ausie sehingga tidak mudah terpancing dengan statemen yg kedengaran provokatif. Tentu saja sikap tegas perlu dikedepankan, termasuk dalam membela kedaulatan hukum RI. Jangan sampai gara-gara pemahaman antar-budaya yang keliru malah merubah sahabat menjadi seteru!
Simak tautan ini:
http://internasional.kompas.com/read/2015/02/24/08180891/Menlu.Australia.Pernyataan.PM.Abbott.Soal.Bantuan.Tsunami.Tak.Membantu
0 comments:
Post a Comment