Apakah bedanya statemen yang
mendesak agar Presiden Jokowi (PJ) segera membuat keputusan melantik
atau tidak melantik Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri, yang
keluar dari dua tokoh ini: Surya Paloh (SP) dan Buya Syafi'i Maarif
(BSM)?. Jika hanya diperiksa dari sisi gramatika dan semantika bahasa,
maka statemen keduanya tidak ada bedanya, atau kalaupun ada hanya
redaksinya saja. Bukankah keduanya sama-sama menyatakan agar PJ segera
memutuskan posisi BG?. Tetapi, sebuah statemen atau ucapan tidak lagi
sederhana manakala sudah dikaitkan dengan konteks dan keterkaitan
lintas-teks (intertekstual) masing-2. Statemen kedua tokoh itu ternyata
merupakan representasi dari dua kutub yg berbeda dan bahkan berlawanan
sama sekali. Statemen keduanya adalah representasi dari kekuatan yang
berbeda, kepentingan yang berbeda, dan bahkan pandangan dunia yg
berbeda. Dan tentu saja, implikasi dari masing-2 statemen (yg di atas
permukaan sama) pun sangat berbeda dan bahkan bisa sangat bertentangan
satu sama lain. (http://news.detik.com/…/syafii-maarif-presiden-panglima-ter…)
SP merepresentasikan kekuatan politik formal, yaitu parpol yang sedang ikut berkuasa dan juga memiliki saham politik bagi terpilihnya PJ. Statemen SP tidak bisa hanya dilihat sebagai representasi aspirasi pribadinya belaka, tetapi juga bagian dari kekuatan politik KIH dan kepentingan korporasi yang kini berada di belakang Pemerintah PJ. BUkan hanya itu. Statemen SP adalah tali temali dengan apa yang juga dikatakan oleh para elit KIH, seperti statemen dari Wapres JK, Ketua DPR RI, sementara pengamat politik pendukung BG, para elite Polri, dan seterusnya. Jadi, dengan kata lain, statemen SP bahwa PJ harus segera membuat keputusan tsb bukanlah statemen netral. Sebaliknya yang dimaksud sejatinya adalah agar PJ segera memutuskan untuk melantik BG sebagai Kapolri.
Sementara itu, BSM adalah representasi kutub yang berseberangan dengan kubu SP. BSM adalah bagian dari kekuatan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil yang kendatipun share dalam hal mendukung PJ sebagai Presiden, namun menolak pengangkatan BG sebagai Kapolri dan bersimpati atau bahkan mendukung KPK, ketika pihak yg disebut terakhir itu mentersangkakan BG sehingga pelantikannya tertunda. BSM tidak mewakili kepentingan politik formal, tetapi lebih pada politik yang tidak formal, yang lebih ideologis dalam pengertian memperjuangkan nilai-nilai ideal yang diyakininya. Kelompok yang mendukung politik semacam ini adalah para cendekiawan, publik yang menginginkan PJ bebas dari tekanan parpol, dan juga kekuatan-kekuatan masyarakat yang tidak terwadahi dalam ruang politik formal. Statemen BSM memiliki intertekstualitas dengan pandangan mereka yang menginginkan agar PJ segera memutuskan memilih calon Kapolri baru, terlepas dari apapun yang dihasilkan sidang pra-peradilan BG.
Dengan demikian, kata-kata, kalimat, dan wacana yang di permukaan mirip, ternyata tidaklah bermakna sama dan/ atau representasi dari kekuatan, kepentingan, dan tujuan yg sama. Apa yang akan diputuskan PJ tentu merupakan hasil dari pertarungan dua kekuatan tsb, dan implikasinya tentu juga akan direfleksikan dalam reaksi dari kedua belah pihak. PJ, kendatipun beliau secara kasatmata berada dalam jejaring politik dan kekuasan formal, tetapi kekuatan yang tak formal pun berinvestasi kepada beliau. Tanpa dukungan kelompk-2 yang diwakili BSM, sulit dibayangkan bahwa PJ akan menduduki posisinya sekarang sebagai Kepala Negara dan pemerintahan. Bisa dibayangkan betapa rumitnya perhitungan yang mesti dilakukan oleh PJ utk membuat keputusan tersebut. Apakah beliau akan memenangkan salah satu pihak, ataukah ada win-win solution, atau tidak melakukan apapun?
Dalam posisi dan situasi seperti itu, maka menjadi seorang Presiden sebuah negara bukanlah pekerjaan yang enteng apalagi enak dan penuh sukacita. Justru sebaliknya, seperti yang sering dikatakan tentang Presiden-2 Amerika di Gedung Putih, bahwa menjadi Presiden adalah "pekerjaan yang paling kesepian di dunia" (the loneliest job in the world). Saya kira demikian pula dengan di Istana Negara. Semoga Presiden Jokowi akan membuat keputusan beliau yang terbaik utk bangsa dan negara. Amin...
Simak tautan ini:
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/17/17534911/Surya.Paloh.Minta.Jokowi.Segera.Ambil.Sikap.soal.Budi.Gunawan?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=news
SP merepresentasikan kekuatan politik formal, yaitu parpol yang sedang ikut berkuasa dan juga memiliki saham politik bagi terpilihnya PJ. Statemen SP tidak bisa hanya dilihat sebagai representasi aspirasi pribadinya belaka, tetapi juga bagian dari kekuatan politik KIH dan kepentingan korporasi yang kini berada di belakang Pemerintah PJ. BUkan hanya itu. Statemen SP adalah tali temali dengan apa yang juga dikatakan oleh para elit KIH, seperti statemen dari Wapres JK, Ketua DPR RI, sementara pengamat politik pendukung BG, para elite Polri, dan seterusnya. Jadi, dengan kata lain, statemen SP bahwa PJ harus segera membuat keputusan tsb bukanlah statemen netral. Sebaliknya yang dimaksud sejatinya adalah agar PJ segera memutuskan untuk melantik BG sebagai Kapolri.
Sementara itu, BSM adalah representasi kutub yang berseberangan dengan kubu SP. BSM adalah bagian dari kekuatan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil yang kendatipun share dalam hal mendukung PJ sebagai Presiden, namun menolak pengangkatan BG sebagai Kapolri dan bersimpati atau bahkan mendukung KPK, ketika pihak yg disebut terakhir itu mentersangkakan BG sehingga pelantikannya tertunda. BSM tidak mewakili kepentingan politik formal, tetapi lebih pada politik yang tidak formal, yang lebih ideologis dalam pengertian memperjuangkan nilai-nilai ideal yang diyakininya. Kelompok yang mendukung politik semacam ini adalah para cendekiawan, publik yang menginginkan PJ bebas dari tekanan parpol, dan juga kekuatan-kekuatan masyarakat yang tidak terwadahi dalam ruang politik formal. Statemen BSM memiliki intertekstualitas dengan pandangan mereka yang menginginkan agar PJ segera memutuskan memilih calon Kapolri baru, terlepas dari apapun yang dihasilkan sidang pra-peradilan BG.
Dengan demikian, kata-kata, kalimat, dan wacana yang di permukaan mirip, ternyata tidaklah bermakna sama dan/ atau representasi dari kekuatan, kepentingan, dan tujuan yg sama. Apa yang akan diputuskan PJ tentu merupakan hasil dari pertarungan dua kekuatan tsb, dan implikasinya tentu juga akan direfleksikan dalam reaksi dari kedua belah pihak. PJ, kendatipun beliau secara kasatmata berada dalam jejaring politik dan kekuasan formal, tetapi kekuatan yang tak formal pun berinvestasi kepada beliau. Tanpa dukungan kelompk-2 yang diwakili BSM, sulit dibayangkan bahwa PJ akan menduduki posisinya sekarang sebagai Kepala Negara dan pemerintahan. Bisa dibayangkan betapa rumitnya perhitungan yang mesti dilakukan oleh PJ utk membuat keputusan tersebut. Apakah beliau akan memenangkan salah satu pihak, ataukah ada win-win solution, atau tidak melakukan apapun?
Dalam posisi dan situasi seperti itu, maka menjadi seorang Presiden sebuah negara bukanlah pekerjaan yang enteng apalagi enak dan penuh sukacita. Justru sebaliknya, seperti yang sering dikatakan tentang Presiden-2 Amerika di Gedung Putih, bahwa menjadi Presiden adalah "pekerjaan yang paling kesepian di dunia" (the loneliest job in the world). Saya kira demikian pula dengan di Istana Negara. Semoga Presiden Jokowi akan membuat keputusan beliau yang terbaik utk bangsa dan negara. Amin...
Simak tautan ini:
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/17/17534911/Surya.Paloh.Minta.Jokowi.Segera.Ambil.Sikap.soal.Budi.Gunawan?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=news
0 comments:
Post a Comment