Pemerintah Presiden Barack Obama (BO) tampaknya akan mengikuti jejak Presiden sebelumnya, George Bush (GB), dalam upaya serius memerangi terorisme di seluruh dunia (global war against terrorism). Hakekatnya, AS masih memandang dirinya dan dipandang oleh banyak negara di dunia, sebagai pimpinan usaha besar melawan bahaya yang mengancam kemanusiaan tsb. Ini bukan saja karena negeri Paman Sam tsb pernah menjadi target serangan teroris di rumah sendiri, terutama tragedi 11 September 2001, tetapi juga karena ia menjadi target kaum teroris di hampir semua belahan dunia. Kepentingan-2 AS, sebagai negara adikuasa nomor satu di dunia, ada di seluruh muka bumi ini. Pangkalan militer yang jumlahnya ratusan, baik berukuran besar maupun sedang dan kecil, adalah salah satu target aksi teroris. Demikian pula kepentingan strategis lain seperti ekonomi, geopolitik, iptek, dll , yang di satu pihak membuat negeri tsb sangat kuat dan hegemonik, tetapi di pihak lain juga rentan (vulnerable) terhadap aksi teroris yang acapkali tak terduga dan menggunakan cara-cara inkonvensional, seperti bom bunuh diri.
Tak pelak lagi BO 'mewarisi' PR yang jauh dari rampung yg ditinggalkan GB. Pendekatan BO memang berbed secara signifikan dalam ihwal memerangi teorisme global. Jika BG terkesan agresif dan menggunakan gaya "cowboy" (pidatonya yg terkenal 'kalau tidak bersama kami, artinya melawan kami'), serta lebih menekankan kekuatan keras (hard power), maka BO menggunakan cara yang lebih terkesan 'moderat' serta tidak gagah-gagahan, kendati tetap tegas (firm). BO menolak menggunakan istilah-2 yang sensitif di telinga ummat Muslim dunia, seperti "Ekstrimisme Islam," "Fasisme Islam,", "Jihadi", dan sejenisnya. Beliau lebih memilih memakai istilah yg "jenerik" seperti "teroris." BO cukup konsisten dg strategi komunikasi seperti itu, dengan beralasan jangan sampai perang melawan terorisme itu dianggap oleh ummat Islam sebagai perang melawan Islam. Strategi komunikasi seperti ini tidak selalu diterima di dalam negeri maupun kelompok Islam tertentu. Di dalam negeri, khususnya dimata kelompok konservatif, BO dianggap tidak jelas dan menghindar dari kenyataan bahwa yang dihadapi memang adalah kelompok teroris yang menggunakan ideologi Islam radikal. Di mata sebagian ummat Islam, terutama yang sntipati thd AS, strategi BO hanya dianggap sebagai kamuflase atau bahkan hipokrit. Merka menganggap bahwa kata-kata jenerik tsb belum bisa menutupi tindakan-2 diskriminatif thd warganegara Muslim di AS dan Eropa yang mendapat tekanan psikologis dan fisik karena fobia thd Islam yang marak pasca 11 September. (http://dunia.rmol.co/read/2015/02/19/192417/Obama:-AS-Tidak-Berperang-dengan-Islam!-)
Kritik-2 semacam ini tentu akan menjadi salah satu batu sandungan bagi BO yang mungkin lebih memahami Islam dan dunia Islam ketimbang para pemimpin AS termasuk yg ada di Gedung Putih dan Konggres. Demikian pula sikap empatik dan rekonsiliatoris BO yg sangat nyata terhadap negara-2 berpenduduk Muslim, termasuk Iran, masih menuai cibiran dan kritik baik dari dalam maupun dari luar. Bahkan mantan Menlunya sendiri, Hillary Clinton (HC) yg konon akan menjadi salah satu kandidat dlm Pilpres 2016 nanti, cukup menjaga jarak dengan BO dalam hal sikap "simpatik dan rekonsiliatif" terhadap negara2 Muslim. HC tampak lebih bersikap 'hawkish' karena kedekatannya dengan kekuatan politik dan korporasi pendukungnya yang cenderung menggunakan pendekatan 'hard power' terhadap kelompok Islam garis keras. Kedekatan HC dengan organisasi lobby Israel seperti AIPAC, misalnya, dan komunitas bisnis di New York, sangat mempengaruhi visi dan pendekatannya mengenai masalah Islam dan terorisme.
Pendekatan BO berhasil menghentikan gerak maju Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan dan Pakistan, dan bahkan membunuh gembong organisasi tsb, Osama bin Lade (OBL), serta menarik pasukan AS dari negara tsb sehingga tidak akan menguras tenaga dan keuangan. Kini fokus BO adalah menghentikan ISIS atau ISIL yang jauh lebih mengancam ketimbang organisasi-2 teroris sebelumnya. Seperti GB, Presiden kulit hitam pertama AS itu pun memakai strategi memobilisasi dukungan dunia Islam utk memerangi ISIS. Untuk sementara waktu serangan AS terhadap target-2 ISIS di Suriah dan Irak cukup membuahkan hasil dalam arti gerakan offensif ISIS bisa dibendung kendati korban yang jatuh sudah sangat besar jumlahnya. Namun persoalan yg dihadapi BO adalah penyebaran ideologi ekstrem dan aksi-aksi kekerasan ISIS ternyat sudah meruyak bukan saja di Timteng, tetapi juga ke Asia Tenggara, Asia Tengah, Afrika Utara, bahkan ke Eropa! Tantangan yg dihadapi BO jelas lebih massif dan terstruktur ketimbang GB. Ideologi ISIS tampaknya mulai mendapat dukungan dan menyebar kemana-mana berkat teknologi informasi modern. Sementara aksi-aksi brutal mereka pun menjadi model kelompok-2 "franchaise" ISIS sebagaimana kita lihat di Libya, dan berbagai aksi-2 teror di Perancis, Denmark, dan Australia.
Mampukan BO menggalang kekuatan anti terorisme dalam tempo kurang dari 2 tahun masa jabatannya? Jika jawabannya negatif, dan pengganti beliau di Gedung Putih nanti adalah HC dan/atau, apalagi, tokoh dari partai Republik yg konservatif, maka kepemimpinan AS dalam perang mewalawan terorisme juga akan mengalami setback. Negara-negara di dunia, khususnya negara berpenduduk Muslim, saya kira harus mencari modus baru yg elbih pas ketimbang mengandalkan kepemimpinan AS semata dlm memerangi ekstremisme atas nama agama. Termasuk Indonesia yg telah menunjukkan keberhasilan menghentikan aksi-aksi teror dengan pendekatan penegakan hukum melalui Polri, khususnya Densus 88 dan kerjasama dg TNI serta intelijen negara. Pendekatan yg lebih lunak (soft) perlu dikembangkan agar kekerasan yg memakai dalih agama, seberapa kecilpun bisa diatasi, dikurangi, dan akhirnya dihilangkan sama sekali.
Simak tautan ini:
http://www.cbc.ca/news/world/fighting-isis-barack-obama-holds-summit-against-violent-extremism-1.2961361
0 comments:
Post a Comment