Ada yg menarik dari Menko Polhukam yga baru, Laksamana TNI (Purn.) Tedjo Edy Purdijatno (TEP), ini. Sejak dilantik, beliau sangat proaktif dalam mengomentari berbagai issu politik yg sedang berkembang, termasuk isu politik paling hangat saat ini, yakni munculnya DPR Perjuangan (DPR-P) besutan KIH. Sesuai dengan posisi beliau, yg mengkoordinasi masalah-masalah terkait politik, hukum, dan keamanan di negeri ini, sikap proaktif ini tentu diperlukan sehingga publik bisa mengetahui bagaimana sikap, tanggapan, dan respon dari Pemerintah Jokowi thd dinamika perkembangan di masyarakat yang semakin cepat dan tuntutan demokrasi agar penyelenggara negara selalu responsif dan akuntabel.
Dalam menyikapi munculnya DPR-P, respon TEP juga cepat dan perlu dicermati. Beliau menganggap bahwa dinamika ysb adalah maslah internal Senayan, sehingga Pemerintah tidak perlu campur tangan. Namun demikian, menurut TEP, Pemerintah juga memiliki sikap yang tegas, yakni "... tidak akan bersedia menggelar rapat dengan DPR, apakah terkait legislasi atau budjeting, sampai masalah di parlemen tersebut selesai." Siapa yg bertanggungjawb? Masih menurut TEP, tentu pimpinan DPR, karena "(s)eharusnya pimpinan DPR bisa mengayomi seluruh anggotanya 560 orang, tidak memihak golongan tertentu." Bahkan TEP seakan-akan mengingatkan bahwa "(p)impinan DPR jangan menjadi bagian dari masalah, sehingga tidak terkesan memihak golongan tertentu." Solusinya, " (m)usyawarahkan dengan baik dan adil. Insyaallah masalah ini cepat selesai, rakyat menunggu."
Kendati statemen TEP berusaha memposisikan Pemerintah sebagai pihak yg independen, tak pelak masih menimbulkan tanda tanya. PERTAMA, jika Pemerintah tidak mau rapat dengan DPR yg ada saat ini, bukankah berarti Pemerintah bisa dianggap memberi legitimasi terhadap DPR-P? Kendati maksudnya baik, sikap tidak mau rapat dg DPR sangat terbuka utk ditafsirkan bhw TEP atau Pemerintah belum mengakui legitimasi DPR di bawah pimpinan Setya Novanto (SN) dkk. KEDUA, jika situasi di Senayan masih terus seperti itu, sementara Pemerintah harus segera menjalankan tugas dan berbagai program (terutama yg harus dilakukan dg persetujuan DPR), maka sikap tidak mau rapat ini akan bisa menghambat keancaran kinerja Pemerintah sendiri. KETIGA, pihak DPR yg secara hukum legitimate saat ini, bisa saja mempertanyakan sikap Pemerintah karena dianggap tidak menganggap eksistensinya.
Saya sependapat dengan peringatan TEP bhw para pimpinan DPR dari kedua kubu agar tidak menjadi bagian dari masalah dan segera mencari solusi yang adil. Namun saya tidak setuju dg TEP bhw Pemerintah bersikap diam dan tidak melakukan apa-apa dengan dalih menunggu Senayan rapi sendiri. Keindependensian Pemerintah tidak menutup pintu bagi upaya membantu mencari solusi secara aktif bagi kemelut di DPR. Sebab, suka atau tidak, keributan itu juga mempunyai implikasi langsung amupun tak langsung terhadap Pemerintah sendiri.
Hemat saya, justru utk menghindari konflik di Senayan menjadi lebih mendalam dan meluas, Pemerintah perlu membantu mendinginkan suasana dan melakukan resolusi konflik itu dengan cara-cara yang tidak intervensionis. Dalam hal ini posisi Presiden Jokowi sangat strategis, baik sebagai Kepala Pemerintahan maupun Kepala Negara RI. Beliau secara langsung maupun melalui utusannya bisa melakukan usaha-2 mediasi dan kompromi-2. Jangan sampai Pemerintah yg niatnya baik malah disalahpahami dan diplintir oleh pihak-pihak yang memang menyukai disharmoni antara kedua lembaga penyelenggara negara tsb. Sebagai Kepala Negara, tentu beliau berhak memanggil para pimpinan lembaga-2 tertinggi negara agar mencari solusi yang elegan dan produktif agar negara terhindar dari bahaya krisis politik.
Simak tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2014/11/02/178222/Pemerintah-Tak-Mau-Rapat-dengan-DPR-Sampai-Masalah-Selesai-
Sunday, November 2, 2014
Home »
» HARUSKAH PEMERINTAH BERSIKAP PASIF DALAM KEMELUT DPR?
0 comments:
Post a Comment