Salah
satu salah paham dan paham yg salah yg sering dibesar2kan dlm politik
Indonesia pasca-Orba adlh mengukur kemampuan, keberhasilan, dan
kegagalan kinerja Presiden serta Kabinetnya dg tampilan100 hari pertama
mereka. Bukan saja tdk tepat dan tidak layak, tetapi ukuran itu sangat
menyesatkan. Bagaimana mungkin suatu Pemerintahan baru yg muncul dg
latarbelakang dan kondisi lingkungan strategis (lingstra) yg berbeda2
lalu digebyah uyah dg ukuran 3 bulan pertama. Bisa saja dlm tempo 3 bl
itu sebuah Pemerintahan sudah jalan dg baik, misalnya kalau ia adlh
lanjutan dari term pertama spt KIB jilid II. Tetapi hal itu jelas tdk
bisa digunakan utk mengukur kapasitas sebuah Pemerintahan yg berbeda dan
memiliki kekhasan atau tantangan yg sama sekali beda dg sebelumnya.
Pemerintahan Presiden Jokowi bukanlah sambungan Pemerintah SBY dalam arti luas. Bahkan dlm hal paradigma pun berbeda sehingga strategi tatakelola negara mungkin juga berbeda secara signifikan. Belum lagi jika dilihat bgmn lingstra yg dihadapi Presiden Jokowi saat ini dan yad. Konsekuensinya, mengukur kapaditas, apalagi keberhasilan, hanya dg gebyah uyah 100 hari kinerja adlh penyederhanaan masalah yg lebay dan ngirit dalam nalar. Paling2 ukuran tsb hanya utk penyederhanaan dan bahkan cuma sensasi utk konsumsi media dan popularitas publik. Bukan sesuatu yg layak utk dijadikan landasan evaluasi bg kemampuan dan kebijakan2 srrategis dr seorang Presiden dan Kabinetnya.
Program 100 hari bukanlah sebuah keharusan spt yg dilontarkan oleh Denny JA. Ia bisa saja ada atau tidak tergantung kepada fokus yg dimiliki Presiden Jokowi. Publik akan melihat dan menilai kiprah beliau bujan hanya dlm rentang waktu 3 bulan, tetapi pada efektifitas kerja sesuai platform dan renstra Pemerintah. Kalau targetnya hanya utk psikologi massa saja mk ada berbagai strategi komunikasi publik yg bisa digunakan utk meyakinkan publik bhw Pemerintah serius dan kerja keras melakukan upaya perubahan yg lebih baik.
Oleh sebab itu, hemat saya, ukuran yg lbh masuk akal adlh dg memakai platform, rencana strategis, program2 jangka pendek, menengah, dan panjang. Dg ukuran itu mk akan bisa dilihat dan dievaluasi kinerja Pemerintah dan aparatnya secara kongkrit, sistematis, dan bisa dipertanggungjawabkan secara transparan. Termasuk dlm hal ini bgmn Presiden memberikan arahan kpd Kabinetnya dan melakukan pengawasan yg efektif.
Wahasil, omongan Denny JA soal ukuran 100 hari utk menilai kemampuan dan/atau keberhasilan Pemerintah Jokowi dan Kabinetnya perlu dikritisi dan tidak perlu dipandang sebagai kewajiban. Itu hanya meniru apa yg populer di AS dimana para Presidennya biasanya punya agenda 100 hari. Tetapi di sana pun hal itu bukan ukuran utk menilai secara obyejtif maupun politis keberhasilan mereka. Publik Indonesia perlu mengkritisi gagasan dan praksis yg seolah2 menarik dan populer, tetapi kemudian salah terap dan malah kontraproduktif. Denny JA, sebagai tokoh yg berpengalaman akademis di AS dan memiliki pengaruh besar melalui lembaga kajian dan surveinya, mestinya mendidik bangsa ini dg "bener dan pener". Semoga!
Simak tautan ini:
http://m.rmol.co/news.php?id=176417
Pemerintahan Presiden Jokowi bukanlah sambungan Pemerintah SBY dalam arti luas. Bahkan dlm hal paradigma pun berbeda sehingga strategi tatakelola negara mungkin juga berbeda secara signifikan. Belum lagi jika dilihat bgmn lingstra yg dihadapi Presiden Jokowi saat ini dan yad. Konsekuensinya, mengukur kapaditas, apalagi keberhasilan, hanya dg gebyah uyah 100 hari kinerja adlh penyederhanaan masalah yg lebay dan ngirit dalam nalar. Paling2 ukuran tsb hanya utk penyederhanaan dan bahkan cuma sensasi utk konsumsi media dan popularitas publik. Bukan sesuatu yg layak utk dijadikan landasan evaluasi bg kemampuan dan kebijakan2 srrategis dr seorang Presiden dan Kabinetnya.
Program 100 hari bukanlah sebuah keharusan spt yg dilontarkan oleh Denny JA. Ia bisa saja ada atau tidak tergantung kepada fokus yg dimiliki Presiden Jokowi. Publik akan melihat dan menilai kiprah beliau bujan hanya dlm rentang waktu 3 bulan, tetapi pada efektifitas kerja sesuai platform dan renstra Pemerintah. Kalau targetnya hanya utk psikologi massa saja mk ada berbagai strategi komunikasi publik yg bisa digunakan utk meyakinkan publik bhw Pemerintah serius dan kerja keras melakukan upaya perubahan yg lebih baik.
Oleh sebab itu, hemat saya, ukuran yg lbh masuk akal adlh dg memakai platform, rencana strategis, program2 jangka pendek, menengah, dan panjang. Dg ukuran itu mk akan bisa dilihat dan dievaluasi kinerja Pemerintah dan aparatnya secara kongkrit, sistematis, dan bisa dipertanggungjawabkan secara transparan. Termasuk dlm hal ini bgmn Presiden memberikan arahan kpd Kabinetnya dan melakukan pengawasan yg efektif.
Wahasil, omongan Denny JA soal ukuran 100 hari utk menilai kemampuan dan/atau keberhasilan Pemerintah Jokowi dan Kabinetnya perlu dikritisi dan tidak perlu dipandang sebagai kewajiban. Itu hanya meniru apa yg populer di AS dimana para Presidennya biasanya punya agenda 100 hari. Tetapi di sana pun hal itu bukan ukuran utk menilai secara obyejtif maupun politis keberhasilan mereka. Publik Indonesia perlu mengkritisi gagasan dan praksis yg seolah2 menarik dan populer, tetapi kemudian salah terap dan malah kontraproduktif. Denny JA, sebagai tokoh yg berpengalaman akademis di AS dan memiliki pengaruh besar melalui lembaga kajian dan surveinya, mestinya mendidik bangsa ini dg "bener dan pener". Semoga!
Simak tautan ini:
http://m.rmol.co/news.php?id=176417
0 comments:
Post a Comment