Dipadang dari aspek legal formal, tidak ada persoalan jika pengumuman Kabinet Presiden Jokowi tidak segera dilakukan. UU memberi waktu 14 hari kepada beliau utk menyusun dan mengumumkan para Menterinya setelah dilantik oleh MPR. Walau Tim Transisi yg dibentuk jauh hari telah bekerja, dan salah satu fungsinya adalah membantu Presiden terpilih dalam masalah Kabinet, tetapi ia tidak bisa diharapkan membuat proses seleksi akan cepat. Pasalnya, Tim hanya memiliki wewenang terbatas, termasuk melakukan proses seleksi kandidat anggota Kabient sampai pada level tertentu, misalnya kualifikasi mereka secara umum. Tetapi keputusan terakhir tetap saja ada pada pemegang kekuasaan politik. Dan kendati secara konstitusional Presiden Jokowi memiliki hak prerogatif utk menunjuk siapa saja menjadi pembantunya, tetapi penggunaan hak itupun tetap harus sangat berhati-hati karena bukan saja menentukan kualitas dan kinerja Kabinet, tetapi implikasinya terkait kepentingan nasional dan bahkan keamanan nasional.
Dengan demikian, kalau kini di ruang publik marak berkembang wacana "keterlambatan" dan "penundaan" pengumuman Kabinet, maka wacana tsb harus dipahami bukan dari masalah legal formal tetapi dari sudut politik. Sumber masalah kerumitan pembentukan Kabinet bisa dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kendala prosedural dan tarik menarik antara para pemangku kepentingan dan elite politik termasuk Presiden, Wapres, pimpinan-2 parpol, dan juga para "sponsor" dari luar. Jika kendala-2 ini belum terselesaikan secara memuaskan maka proses penentuan otomastis akan berkepanjangan sampai tenggat waktu datang. Faktor eksternal termasuk reaksi dari pihak parpol opisisi (KMP), media massa, reaksi pasar, dan opini publik (termasuk pandangan pengamat) yang pada gilirannya ikut menciptakan suasana dan kesan bahwa Presiden Jokowi terlambat dan melakukan penundaan tsb.
Hemat saya, faktor internal lebih dominan dan menentukan ketimbang eksternal, karena segera setelah Pilpres 2014 usai, Presiden Jokowi harus menghadapi tekanan dan sekaligus mengelola konflik kepentingan dari berbagai penjuru, khususnya ketua-2 parpol dan para sponsor politik. Figur seperti Megawati (MS), Wiranto (W), Surya Paloh (SP), dan Imin (MI) tentu harus didengar usulnya dan mereka bahkan bisa menekan Jokowi dg "ancaman" dukungan politik. Belum lagi posisi JK yg juga sangat berpengaruh dalam membawa usulan dari para "sponsor" Pilpres. Presiden Jokowi, kendati punya hak prerogatif, tetap harus berhati-2 menghadapi mereka. Bahkan, rekomendasi KPK dan PPATK pun tdk bisa serta merta digunakan utk menolak mentah-2 usul parpol dan sponsor tsb. Sebab, selain soal kebersihan dari korupsi, masih ada variabel-2 lain yg juga mesti dipertimbangkan, termasuk politik dan balas budi.
Posisi politik Presiden Jokowi tdk sama dengan Presiden SBY ketika beliau membentuk Kabinet. Selain dlm hal paradigma, juga realitas dukungan parpol yg dimiliki keduanya sangat berbeda pula. Itu sebabnya kendati sudah membentuk Tim Transisi, Presiden Jokowi tdk bisa segera menyusun Kabinet, termasuk menggunakan hak prerogatif sebagai Kepala Pemerintahan, seperti Pak SBY dulu. Prediksi saya, susunan Kabinet Trisakti 2014-2019 nanti masih akan merupakan sebuah hasil kompromi politik maksimal yg bisa dicapai oleh Presiden Jokowi. Respon dan dukungan dari publik yg positif di masa awal kepresidenan beliau, menjadi sangat penting pengaruhnya apakah beliau dan crewnya bisa segera bekerja atau masih harus menghadapi situasi yg belum kondusif. Berhubung opini publik kita sangat rentan thd pengaruh media, maka strategi komunikasi publik dan manajemen opini publik adalah pekerjaan rumah yang paling penting dari Istana Negara.
Simak tautan ini:
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/22/078616482/PDIP-Tak-Ada-Istilah-Penundaan-Pengumuman-Kabinet
Thursday, October 23, 2014
Home »
» KENISCAYAAN KOMPROMI POLITIK DALAM PEMBENTUKAN KABINET
0 comments:
Post a Comment