Terlalu pagi dan terlalu gegabah bila "people power" atau kekuatan massa mulai diwacanakan untuk mendukung Pemerintahan Jokowi hanya karena Koalisi merah Putih (KMP) kini menguasai Parlemen. Kendati reaksi seperti itu bisa dipahami, karena ada kekhawatiran akan terhadangnya Pemerintah Jokowi dalam menjalankan amanat konstitusionalnya, tetapi buat saya 'people power' bukanlah respon dan/atau alternatif yang pas. PERTAMA, masih belum jelas apakah Pemerintah Jokowi benar-2 akan terganjal Parlemen dan tidak mampu mewujudkan apa yang dijanjikan kepada rakyat pada saat kampanye dulu. Rakyat bukanlah segerombolan kambing congek yang bisa digiring ke arah yg diinginkan elit. Mereka juga bisa menilai apakah pemerintah mampu atau tidak mewujudkan janjinya, atau apakah Parlemen sengaja menghalangi atau memang menjjalankan fungsi dan tugasnya.
KEDUA, kiprah Presiden Jokowi tergantung juga pada kemampuan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam melakukan tugasnya di Parlemen mendukung pemerintah. Kalau kiprah KIH ternyata masih sama dengan saat ini, yakni kalah 5-0 melawan KMP sebelum Presiden Jokowi dilantik, maka rakyat juga berhak untuk meragukan apakah benar KIH mampu menjadi pendukung Presiden Jokowi ketika harus berhadapan dengan Parlemen yg didominasi KMP. Rakyat tidak senaif yg dibayangkan oleh pengamat politik UGM, Arie Sudjito (AS), seakan-akan apapun yang dilakukan KIH sudah benar dan mesti akan didukung. Fakta bahwa koalisi yg dimotori PDIP gagal dalam membangun kekuatan di parlemen juga diketahui rakyat dan dievaluasi.
KETIGA, 'people power' yg sukses biasanya karena kepemimpinan dan organisasi yang baik, kuat, dan konsisten. Tak heran bila 'people power' yg efektif justru dipelopori oleh tokoh-2 masyarakat yang tidak memiliki agenda politik kekuasaan jangka pendek. Gerakan 'people power' yg berhasil menumbangkan rezim-2 otoriter bersandar pada kekuatan moral para tokohnya, dan baru kemudian setelah berhasil para politisi melanjutkan proses konsolidasi politik dalam lembaga-lembaga formal (parpol, parlemen, pemerintahan, dll). Dalam konteks Indonesia pasca-Pilpres 2014, saya belum melihat ada tokoh-2 sekaliber itu, apalagi kalau hanya bersandar kepada tokoh2 organisasi masyarakat sipil (OSM) seperti LSM. Jika 'people power' hanya utk menyelamatkan KIH dan Pemerintah Jokowi, tentu malah tidak akan efektif karena orientasinya adalah politik kekuasaan semata.
Walhasil, menurut hemat saya, para penggagas 'people power' sebagai reaksi thd kekalahan KIH di Parlemen ini terlalu tergesa-gesa dan tak cukup beralasan. Hemat saya, Presiden Jokowi dan Kabinetnya harus diberi kesempatan seluas-2nya utk berkiprah secara maksimal menjalankan amanah konstitusi sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Demikian pula Parlemen harus diberi kesempatan utk menjalankan tugas dan fungsinya mengawasi Pemerintah dan juga tempat penyaluran aspirasi rakyat. Rakyat akan dan pasti bisa menilai sendiri apakah dua lembaga penyelenggara negara tsb telah menjalankan amanat konstitusi atau tidak. Berbagai dinamika masih bisa terjadi, sehigga tak perlu kebelet dengan mengusung ide seperti 'people power' yang belum tentu akan menghasilkan hal yang positif bagi peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tak perlu "nggege mongso."
Simak tautan ini:
http://nasional.kompas.com/read/2014/10/08/08451951/Jika.Terjegal.di.Parlemen.People.Power.Akan.Bela.Jokowi-JK
0 comments:
Post a Comment