Wacana ttg perubahan nomenklatur Kementerian Agama (Kemenag) menjadi
Kementerian Wakaf, Haji, dan Zakat (KWHZ), menarik utk dicermati.
Kendati masih terlalu prematur utk mempercayai perubahan itu
akan terjadi, namun fakta bahwa ada usul tsb dalam perbincangan publik
tak bisa disepelekan. Pada saat yg sama kita juga mesti menyikapi usul
tsb dg kritis dan mempertimbangkan berbagai faktor sebelum mendukung
atau menolak. Kita masih ingat bahwa tak kurang dari almaghfurlah GD
sendiri, yg notabene adlh tokoh NU, bersikap sangat kritis thd Kemenag
walaupun tidak sampai mengusulkan perubahan nomenklatur, apalagi
penghapusannya.
Argumen pengusul perubahan nomenklatur agar
Kemenag menjadi KWHZ tentu mendasarkan pada fungsi kementerian yang
lebih fokus kepada persoalan-2 kunci yg menjadi kepedulian ummat Islam.
Dengan demikian, terjadi sebuah pergeseran fundamental dalam hal
landasan keberadaan kementerian ini. Pada Kemenag, maka landasan
utamanya adlh kepentingan seluruh ummat beragama di negeri ini,
sdeangkan KWHZ hanya melulu kepentingan ummat Islam. Dari sini saja ada
sebuah kemunduran paradigma, dari inklusifisme menjadi eksklusifisme.
Memang benar bhw selama ini fokus Kemenag lebih didominasi oleh urusan
ummat Islam dan masih belum banyak menjangkau kepentingan ummat beragama
lainnya, tetapi itu bisa diubah. Bahkan hemat saya, Kemenag pun masih
jauh dari berfungsi dlm menghadapi perkembangan bangsa pasca-reformasi
dlm permasalahan kehidupan lintas agama. Demikian juga Kemenag yg makin
ke sini makin mengalami kemerosotan dalam kepemimpinan serta
pengembangan kualitas SDM dan kelembagaan pendidikan, pelayanan Haji,
perlindungan kelompok minortas, dll.
Jika Kemenang diubah
dengan nomenklatur baru yg visinya eksklusif seperti KWHZ, maka akan
terjadi kerugian besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa
iini bukan melakukan perubahan yang semakin memperteguh wawasan
kebangsaan dan inklusifisme, serta memajukan kehidupan demokrasi melalui
multikulturalisme, tetapi malah mengarah kepada eksklusifisme dan
bahkan bisa jadi memperteguh pengkotak-kotakan. Inilah yg perlu
dipikirkan oleh para pendukung wacana perubahan nomenklatur Kemenag.
Namun bukan berarti kondisi Kemenag saat ini sudah baik. Justru menurut
saya sebaliknya, telah terjadi kejumudan, disfungsi, dan bahkan
disorientasi karena reformasi di Kementerian ini tidak berjalan.
Misalnya, penyelenggaraan Haji mesti diubah total di mana peran negara
dan pemerintah (Kemenag) ditekan seminimal mungkin. Manajemen
Kementerian juga diubah total sehingga menjadi lebih inklusif, bukan
monopoli para lulusan Pendidikan Tinggi Agama seperti UIN dll. Bukan
karena mereka kurang baik, tetapi perlu ada penajaman-2 dan
diversifikasi serta perluasan cakrawala dari Kemenag baik di pusat
maupun daerah. Pemberantasan korupsi juga harus emnjadi target utama dr
kementerian ini. Walhasil, bagi saya bukan perubahan nomenklatur itu
benar yg mendesak, tetapi revitalisasi melalu reformasi total thd
manajemen yg mestinya diprioritaskan.
Simak tautan ini:
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/09/17/07461211/pbnu.ingatkan.jokowi.agar.tak.hapus.kementerian.agama
Wednesday, September 17, 2014
Home »
» PERLUKAH KEMENTERIAN AGAMA GANTI NOMENKLATUR?
0 comments:
Post a Comment