Misalnya, dalam kasus konstelasi aliansi kekuatan-2 partai politik di
DPR pasca-Pilpres 2014. Sudah bisa dipastikan bahwa konstelasi politik
di Senayan sebelum dan setelah putusan MK ttg pemenang Pilpres akan
mengalami perubahan signifikan. Koalisi Permanen besutan kubu pendukung
Prabowo-Hatta, atau yg dikenal dengan nama Koalisi Merah Putih (KMP),
boleh saja sesumbar akan solid sebagai oposisi Pemerintah Jokowi (PJ),
tetapi tidak ada jaminan bahwa akan menjadi kenyataan. Setidaknya,
probabilitas pendukung KMP utk berubah jumlah dan kekuatannya cukup
tinggi, mungkin di atas 80%. KMP yg semula terdiri atas Gerindra,
Golkar, PAN, Demokrat, PKS, PPP, dan PBB (6 secara efektif di DPR karena
PBB tdk punya kursi), bisa saja akan mreteli. Bisa jadi yg akan
bertahan sebagai kubu oposisi hanya Gerindra dan PKS, sebab keduanya
sudah bisa dipastikan tidak akan diterima masuk kubu pendukung PJ. Yang
probabilitasnya tinggi utk balik kanan dan gabung ke PJ adalah Golkar
dan PPP. Sedang yang akan menjadi kubu tanpa koalisi kemana-mana adlah
Demokrat dan PAN. Dengan demikian kubu koalisi pendukung PJ di DPR ada
6: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, Golkar, dan PPP.
Tentu bergabungnya mantan KMP ke koalisi PJ bukan tanpa syarat dan mahar politik. Syarat utama, tentu harus terjadi pergeseran kekuatan di DPP Golkar dan PPP, berupa pergantian Ical (ARB) dan Surya Dharma Ali (SDA) digantikan oleh kekuatan baru yg pro PJ. Soal mahar politik, Golkar dan PPP saya kira akan meminta PJ memberi jatah kursi Kabinet atau posisi strategis lainnya di DPR (apalagi jika kemudian berhasil mementahkan UU MD3 lewat uji di MK), atau di tempat lain. Dalam konstelasi politik saat ini, mahar seperti itu tentu tidak sulit utk dibayar PJ. Sebab taruhannya sangat serius bagi PJ jika koalisi partai di DPR tidak cukup solid mendukung beleid yg dibuatnya. Saat ini, baik Jokowi maupun PDIP bisa saja sesumbar akan menghadapi apapun yg terjadi, tetapi saya sama sekali tdk yakin bahwa mereka akan meriskir sebuah konstelasi politik yg penuh ketakstabilan dan keribetan di Senayan, yang tak mustahil resonansinya bisa menukik lebih jauh ke bawah!.
Yg menarik utk diperhatikan adalah perilaku partai Demokrat vis-a-vis PJ di Senayan. Partai besutan Pak SBY ini memang idealnya menjadi 'penyeimbang' di Senayan tanpa perlu memosisikan dirinya sebagai pendukung oposisi "KMP minus" (baca= Gerindra dan PKS). Sayangnya, kemampuan politisi Demokrat di Senayan masih meragukan apakah mereka akan mampu memerankan tugas yg sangat strategis dlm rangka mengembalikan kepercayaan (trust) rakyat dan elektabilitasnya pada 2019 yad. Jika Pak SBY benar-2 langsung mengendalikan politisi Demokrat di Senayan sambil menambah kualitas SDM di jajaran elit partai dengan orang-2 baru yg berpengalaman dan punya reputasi baik di masyarakat, maka peran penyeimbang tsb masih terbuka. Tetapi jika pak SBY hanya mendelegasikan kepada elit Demokrat yg ada saat ini, rasanya peran politisi Demokrat di Senayan tak cukup kuat menghadapi kekuatan parpol-2 yg lebih bagus personelnya.
Bola ada di tangan PJ, apakah akan bermain cantik dan mengakomodasi keinginan parpol-2 KMP yg berpotensi masuk ke kubunya ataukah punya strategi lain. Yang jelas, tanpa keseimbangan dan stabilitas politik di Senayan, kecil kemungkinan PJ mampu mengimplementasikan platform politiknya dan janji-2 kampanye Pilpres yg telah dicatat dengan baik oleh rakyat Indonesia.
Simak tautan di bawah ini;
http://www.tempo.co/read/news/2014/08/26/078602222/Tiga-Partai-Berpeluang-Dukung-Koalisi-Jokowi.
Tentu bergabungnya mantan KMP ke koalisi PJ bukan tanpa syarat dan mahar politik. Syarat utama, tentu harus terjadi pergeseran kekuatan di DPP Golkar dan PPP, berupa pergantian Ical (ARB) dan Surya Dharma Ali (SDA) digantikan oleh kekuatan baru yg pro PJ. Soal mahar politik, Golkar dan PPP saya kira akan meminta PJ memberi jatah kursi Kabinet atau posisi strategis lainnya di DPR (apalagi jika kemudian berhasil mementahkan UU MD3 lewat uji di MK), atau di tempat lain. Dalam konstelasi politik saat ini, mahar seperti itu tentu tidak sulit utk dibayar PJ. Sebab taruhannya sangat serius bagi PJ jika koalisi partai di DPR tidak cukup solid mendukung beleid yg dibuatnya. Saat ini, baik Jokowi maupun PDIP bisa saja sesumbar akan menghadapi apapun yg terjadi, tetapi saya sama sekali tdk yakin bahwa mereka akan meriskir sebuah konstelasi politik yg penuh ketakstabilan dan keribetan di Senayan, yang tak mustahil resonansinya bisa menukik lebih jauh ke bawah!.
Yg menarik utk diperhatikan adalah perilaku partai Demokrat vis-a-vis PJ di Senayan. Partai besutan Pak SBY ini memang idealnya menjadi 'penyeimbang' di Senayan tanpa perlu memosisikan dirinya sebagai pendukung oposisi "KMP minus" (baca= Gerindra dan PKS). Sayangnya, kemampuan politisi Demokrat di Senayan masih meragukan apakah mereka akan mampu memerankan tugas yg sangat strategis dlm rangka mengembalikan kepercayaan (trust) rakyat dan elektabilitasnya pada 2019 yad. Jika Pak SBY benar-2 langsung mengendalikan politisi Demokrat di Senayan sambil menambah kualitas SDM di jajaran elit partai dengan orang-2 baru yg berpengalaman dan punya reputasi baik di masyarakat, maka peran penyeimbang tsb masih terbuka. Tetapi jika pak SBY hanya mendelegasikan kepada elit Demokrat yg ada saat ini, rasanya peran politisi Demokrat di Senayan tak cukup kuat menghadapi kekuatan parpol-2 yg lebih bagus personelnya.
Bola ada di tangan PJ, apakah akan bermain cantik dan mengakomodasi keinginan parpol-2 KMP yg berpotensi masuk ke kubunya ataukah punya strategi lain. Yang jelas, tanpa keseimbangan dan stabilitas politik di Senayan, kecil kemungkinan PJ mampu mengimplementasikan platform politiknya dan janji-2 kampanye Pilpres yg telah dicatat dengan baik oleh rakyat Indonesia.
Simak tautan di bawah ini;
http://www.tempo.co/read/news/2014/08/26/078602222/Tiga-Partai-Berpeluang-Dukung-Koalisi-Jokowi.
0 comments:
Post a Comment