Pemerintah baru di bawah Presiden Joko Widodo (PJW) yang akan efektif mulai 20 Oktober 2014, hari-2 ini mulai mendapat tantangan yang akan membayanginya selam 5 tahun yad apabila tidak diselesaikan secara tuntas, yaitu masalah 'klasik' yg bernama kenaikan harga BBM bersubsidi. Saya katakan 'klasik' karena isu yg satu ini sudah menjadi langganan setiap pemerintah sejak zaman Orba, dengan berbagai implikasi yg berbeda. Tetapi secara umum, implikasi politik kenaikan BBM bersubsidi lebih serius ketimbang lainnya, karena sampai hari ini rakyat Indonesia cederung hanya menjadi obyek yang lemah vis-a-vis kepurtusan Pemerintah. Ada kalanya Pemerintah mencoba tampil beda dengan menurunkan harga BBM, seperti yg pernah dilakukan 2 kali oleh Presiden SBY, tetapi hal itu sebenarnya hanya semacam strategi pencitraan politik, karena faktanya kenaikan itu hanyalah semacam 'menunda masalah'belaka. Bukan sesuatu yang senyatanya bisa menyelesaikan persoalan secara tuntas.
PJW bisa dikatakan sebagai 'korban' politik pengelolaan energi yg salah total dari Pemerintah saat ini. Namun PJW pun tidak bisa dengan enteng melempar persoalan kepada Presiden SBY, karena secara faktual, PJWlah yang akan menanggung resiko jika BBM bersubsidi semakin memberatkan anggaran belanja negara dan ketersediaan pasokan BBM mengalami gangguan. Terlepas dari apakah tarik ulur kenaikan BBM saat ini merupakan jebakan politik Pemerintah SBY, atau tidak, fakta keras yg harus dihadapi oleh PJW sangat jelas: Pemerintahannya tetap harus menyelesaikan masalah ini atau akan menghadapi krisis kepercayaan rakyat kendati terpilih dalam Pilpres 2014.
Itu sebabnya, pilihan PJW sangat sedikit. Yang paling bagus tentu kalau ia bisa meyakinkan Presiden SBY agar melakukan langkah-2 strategis jangka pendek yg bisa menanggulangi maslh APBN 2015 khususnya terkait subsidi BBM. Kalau kedua pemimpin itu bisa rundingan dan mencapai konsensus bagi penyelamatan bangsa dlm jangka pendek, maka bisa jadi kenaikan harga BBM bersubsidi, kalaupun harus diambil, akan bisa diplot secara gradual dan bisa diterima akal sehat oleh rakyat. Rakyat Indonesia cukup rasional utk menerima kenyataan ttg keniscayaan kebijakan kenaikan harga BBM ini, jika PJW mampu memberikan penjelasan mengapa rundingan itu harus dilakukan.
Setelah itu, PJW wajib melakukan perombakan total terhadap kebijakan ttgmasalah pengelolaan BBM pda khususnya, dan energi nasional pd umumnya. Pandangan-2 kritis seperti yg dikemukakan oleh Kwik Kian Gie (KKG), Dr. Kurtubi, dll harus diperhatikan dg serius. Keberanian PJW utk menghentikan ketergantungan terhadap kekuatan Mafia Migas (yg semua orang sudah tahu siapa-siapanya, dan di lembaga apa saja itu) harus ada. Demikian pula ketegasan melakukan perombakan kebijakan energi nasional. Sudah waktunya PJW membongkar Dewan Energi Nasional (DEN) yg isinya adalah orang-2 yang tidak memiliki komitmen thd pemandirian energi nasional, khususnya pembangunan PLTN. DEM jangan sampai diisi dg pakar-pakar, pejabat, dan praktisi yg terang benderang maupun sembunyi-2 memiliki vested interest dan kongkalikong dengan kekuatan Mafia Migas. Jika DEN masih seperti yg sekarang bercokol dan pandangannya diikuti oleh PJW, maka sampai ada lebaran kuda pun kemandirian dan ketahanan energi nasional Ri tak akan pernah terwujud.
Implikasinya, kebijaka kenaikan harga BBM bersubsidi yg mungkin semula memang sebuah keniscayaan (necessary), akan berubah menjadi sebuah kebohongan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) yg dilakukan Pemerintah bersama para Mafia Migas terhadap rakyat Indonesia. Apa yg dikemukakan oleh KKG dan Dr. Kurtubi adalah peringatan yg sangat gamblang dan bukan main-main.
Simak tautan ini:
http://www.citizenjurnalism.com/hot-topics/pencerahan-dari-prof-kwik-kian-gie-data-anggito-abimanyu-seputar-kontroversi-kenaikan-harga-bbm/
Wednesday, August 27, 2014
Home »
» KENAIKAN HARGA BBM BERSUBSIDI: KENISCAYAAN ATAU PEMBOHONGAN TERHADAP RAKYAT?
0 comments:
Post a Comment