Sebuah ungkapan populer di Amerika mengatakan "the game is not over until it's over" atau "It's not over until it's over." Ada juga istilah "the show is not over until the fat lady sings." Semuanya bermakna satu hal, bahwa permainan, pertandingan, kompetisi, pemilu, dll dinyatakan berakhir jika memang sudah berakhir menurut aturan main. Istilah seperti itu memberi implikasi sbb: 1) Budaya Amerika tidak mengenal kata menyerah dalam kompetisi sampai dinyatakan selesai; 2) Orang Amerika menyukai situasi di mana pemain yang di tahapan awal kalah, pada akhirnya menang di tahapan akhir, karena usaha dan perjuangan yang tak kenal menyerah; dan 3) Jika memang aturan main telah memutuskan siapa menang dan kalah, maka orang Amerika cenderung akan mematuhi, dan mengucapkan selamat kepada si pemenang. Hal tersebut tidak mematahkan semangat mereka utk berjuang jika ada kesempatan lagi di masa depan. Nilai dan perilaku budaya ini termasuk juga dalam dunia politik seperti Pilpres dan Pileg.
Bandingkan dengan fenomena politik di Indonesia, setelah MK menjatuhkan putusan gugatan PHPU tgl 21 Agustus 2014 dan menyatakan seluruh permohonan kubu Prabowo-Hatta Rajasa (PH) ditolak, dan berarti Jokowi-JK (JJ) adalah Presiden-Wapres 2014-2019 terpilih. Apakah kubu PH mengakui putusan MK? Secara formal ya, kendati dengan banyak catatan (http://surabaya.bisnis.com/read/20140822/94/73898/kubu-prabowo-mengakui-putusan-mk-tapi-dengan-banyak-catatan-apa-saja). Apakah PH serta merta mengucapkan selamat kepada JJ sebagai Presiden-Wapres baru? Tampaknya masih belum. Apakah kubu PH sudah menerima kekalahan ini dan akan berjuang utk Pemilu 2019? Saya belum melihat itu dan, bahkan, sebaliknya: Kendati PH mengakui keputusan MK, tetapi upaya untuk mengganjal JJ akan berjalan terus. Inilah yg dinyatakan oleh Tantowi Yahya (TY), juru bicara (Jubir) Koalisi Mreah Putih (KMP): "Perjuangan terus dilanjutkan untuk kebangkitan Indonesia, yang satu berdaulat, adil dan makmur.." dan "(k)ita tak akan membiarkan perjuangan para pendiri bangsa dikhianati..."
Kubu JJ haruslah realistis, bahwa yg dihadapi bukanlah masyarakat yang berbudaya dan berperilaku politik seperti Amerika. Boleh saja ada kesamaan dalam lembaga-2 demokrasi (pemilu, pilkada, KPU, Mahkamah Konstistusi, DPR, dll), tetapi dimensi budaya berdemokrasi jelas tidak sama. Retorika para politisi bisa saja berwarna-warni, ditimpali oleh para pengamat dan media, tetapi kenyataan keras dalam permainan politik 2014-2019 yg akan dihadapi oleh JJ tidak akan jauh bedanya dengan sebelumnya. Antara lain: 1) JJ tdk akan mungkin memerintah dengan stabil dan lancar jika tidak ditopang DPR yg stabil; 2) JJ tidak akan mampu menggerakkan mesin Kabinet jika kekuatan parpol menguasai posisi strategis; 3) JJ akan sulit mendapat dukungan publik jika tidak mampu memlihara relasi dengan komponen masyarakat sipil yg selama ini menjadi pendukung elektoralnya; dan 4) JJ harus memberikan bukti bahwa kesejahteraan ekonomi, ketersediaan pangan dan energi, pemenuhan proteksi kesehatan dan pendidikan masyarakat bawah tidak terganggu.
Agenda 1 dan 2 adalah agenda jangka pendek terpenting yg harus diselesaikan oleh JJ dalam tempo setengah atau setahun ke depan. Agenda 3-4 adalah berikutnya. Itu sebabnya, netralisasi dan pengendalian pengaruh perlawanan PH , khususnya di DPR dan penyusunan Kabinet yg kuat dg pemosisian parpol yg tepat adalah sine qua non alias mutlak perlu. Gagal dalam kedua hal itu, akan membawa resiko gonjang-ganjing politik di Senayan dan terhalangnya delivery system dan efektifitas pemerintahan.
Beda dengan di Amrik, di Indonesia semboyannya masih "the game is never really over", boss...
Simak tautan ini:
http://surabaya.bisnis.com/read/20140822/94/73898/kubu-prabowo-mengakui-putusan-mk-tapi-dengan-banyak-catatan-apa-saja
0 comments:
Post a Comment