Kabar ttg operasi penangkapan para pemeras TKI di Bandara Soetta
tentu sangat menarik untuk digunakan sebagai semacam kampanye untuk
menunjukkan bahwa upaya penegakan hukum telah berjalan. Dan
hasil tangkapan itu, 18 orang termasuk oknum TNI dan Polri, pasti akan
menjadi bahan wacana publik untuk sementara waktu. Sayangnya,
mengharapkan operasi semacam ini akan menyelesaikan masalah pemerasan
terhadap TKI adalah mirip dengan mengobati penyakit tipes dengan
menggunakan obat gosok belaka, alias hanya mencoba menghilangkan rasa
sakit di luar.
Pertama, kendati operasi penangkapan itu bukan
tanpa arti, namun semua orang juga tahu bhw pokok pangkal masalah
pemerasan TKI jelas bukan di Soetta, tetapi ada di seluruh proses
menjadi TKI sejak mereka mulai mendaftarkan diri mereka ke agen PJTKI
dan seterusnya setelah masuk dalam birokrasi baik di BNPT2KI maupun
Kemenakertrans, sampai ketika sudah berada di luar negeri dan balik lagi
ke negaranya. Pemerasan yg dilakukan oknum-2 di Bandara Soetta hanya
ujung dari rentetan proses panjang pemerasan struktural thd para
pahlawan devisa negara tsb.
Tanpa mengurangi hormat saya kepada
Polri dan TNI, menyelesaikan masalah ini tidak boleh hanya pada simptom
saja, tetapi harus pada inti masalah: birokrasi dan manajemen nasional
thd TKI yang sejak dahulu kala diciptakan bukan untuk memfasilitasi
warganegara Indonesia yg mencari kerja di luar negeri, sperti yg telah
dikembangkan di berbagai negara yang juga memiliki pekerja migran yg
besar seperti Filipina. Filosofi dan acuan dasar manajemen TKI yg
dimiliki Pemerintah adalah hanya profit-oriented, bukan human-oriented
ataupun citizen-welfare oriented. Karena landasannya mencarai uang
sebanyak-2nya maka pengelolaan TKI lantas terfokus pada bagaimana
memanfaatkan para pekerja agar mampu mengeruk devisa sebesar-2nya tetapi
tidak memperhatikan keamanan, kesejahteraan, dan dignity (harga diri)
mereka sebagai warganegara.
Itu sebabnya, kondisi pekerja
migran Indonesia (walapun sudah disebut sebagai pahlawan) tidak ada
perubahan yang benar-benar fundamental sejak dulu hingga sekarang dan
mungkin di masa depan. Padahal saya yakin bahwa TKI juga makin banyak
yang memiliki latarbelakang pendidikan, keahlian, dan pengalaman yang
tak kalah hebat dengan yg ada di dalam negeri. Dalam berbagai kasus
malah mungkin ada yg lebih baik. Namun secara umum, kesan yg muncul
begitu istilah TKI muncul adalah kesengsaraan, kesia-siaan, dan
perlakuan tak manusiawi (inhuman treatment) baik sebelum, pada saat, dan
sesudah mereka bekerja dan menghasilkan devisa bagi negara dan
bangsanya.
Pemerintah baru Jokowi-JK, yg memiliki landasan
paradigma revolusi mental, sudah seharusnya melakukan perubahan
paradigmatik dalam manajemen TKI itu, yaitu memanusiakan TKI sebagai
warganegara RI yg memiliki hak-hak dasar, bukan sekadar pencari
keuntungan yg bisa diperas oleh birokrat dan pengusaha. Ini jelas bukan
hanya menyentuh hal-hal permukaan, tetapi yg mendasar. Dan tentu saja
petinggi yg ditunjuk untuk mengurus masalah ini (Menakertrans) juga
orang yg punya karakter mau melakukan perubahan fundamental dan
paradigmatik. Bukan cuma pejabat yang sibuk dengan kepentingan dirinya
sendiri, parpolnya, dan para pendukungnya.
Simak tautan ini:
http://www.tempo.co/read/news/2014/07/26/078595947/18-Orang-Pemeras-TKI-Ditahan-di-Polda-Metro-Jaya
Sunday, July 27, 2014
Home »
» PENTINGNYA PERUBAHAN PARADIGMA PENGELOLAAN TKI
0 comments:
Post a Comment